Ayam dan Burung
Bapak dan ibuku
adalah seorang petani di desa. Mereka mempunyai sawah beberapa petak yang
ditanami tanaman padi. Ketika masa panen tiba biasa mereka menjemur padi di
halaman rumah. Agar padi yang dijemur tidak dimakan ayam-ayam, biasanya mereka
duduk di serambi rumah. Kadang ayam-ayam itu juga masuk rumah untuk mencari
padi. Lalu bapak dan ibu mengusir ayam-ayam itu agar pergi. Ayam-ayam itu
adalah ayam milik ibuku sendiri, tetapi kadang juga ayam milik tetangga.
Suatu hari bapak
dan ibuku menjemur padi di halaman rumah. Lalu beberapa ayam mulai berdatangan
untuk makan padi jemuran. Ibuku sangat marah dengan hal itu. Ibuku mengusir
ayam itu dengan keras sekali. Tak lupa juga diselingi dengan perkataan yang
menakutkan. Saat itu aku mendengarnya dari kejauhan dan terus terang aku merasa
ketakutan. Ketika malam hari tiba aku mendekati ibuku.
Aku berkata, “Ibu, dulu saat pengajian di Masjid, Bu Wisnu (Ustadzah di desa) pernah bilang, ‘Kalo anda sebagai petani, kemudian tanaman padinya di sawah dimakan burung, itu adalah sedekah kepada burung.’ Jadi kalo jemuran padi kita dimakan ayam-ayam sedikit jangan marah. Itu sedekah kita kepada ayam. Lagipula ayam-ayam itu milik kita juga atau ayam-ayam tetangga. Kalo yang makan ayam-ayam tetangga, itu sedekah untuk ayam tetangga. Bukankah kita sering juga dapat makanan pemberian dari tetangga kita?” Aku melanjutkan perkataan, “Lain kali, jika jemuran padi dimakan ayam-ayam, diusir saja dengan tepukan tangan. Jangan marah-marah lagi.” Sejak saat itu ibuku tidak marah lagi karena ayam.
Kotoran Ayam
Ibuku suka
memelihara ayam kampung. Tetapi beberapa tahun terakhir mengalami kesulitan.
Setiap kali ibuku memelihara ayam, ayamnya selalu mati. Kami tidak tahu mengapa
ayam-ayam itu mati. Lalu ibuku membeli lagi beberapa ekor ayam di pasar untuk
indukan. Tetapi ketika ayam bertelur dan beberapa ekor anaknya menetas, ayam
itu juga mati. Demikian juga beberapa anaknya dalam waktu yang bergantian.
Sehingga hanya tinggal satu ekor anak ayam yang tumbuh menjadi besar.
Seekor ayam yang
masih bertahan hidup itu warnanya bulunya abu-abu. Dari ayam itu kemudian
bertelor dan menetaskan beberapa ekor anak ayam. Berjalannya waktu, ayam ibuku
menjadi lebih dari sepuluh ekor. Sebenarnya aku tidak suka ayam-ayam itu,
karena hampir semua ayam warna bulunya abu-abu. Tetapi inilah kenyataan, dari
ayam bulu abu-abu itulah yang membuat ayam ibuku menjadi banyak. Lambat laun,
aku bisa menerima kehadiran ayam-ayam berbulu abu-abu di rumah.
Ayam itu dilepas
bebas di pagi hari dan dikurung menjelang malam hari. Sering kali ayam-ayam itu
masuk rumah untuk mencari makanan beras atau padi. Kemudian ayam itu membuang
kotoran sembarangan. Ibuku marah karena hal itu. Bukan hanya sekali atau dua
kali tetapi berkali-kali.
Suatu hari kami
mengalami kejadian yang sama. Ayam kami itu tiba-tiba masuk rumah melalui pintu
belakang yang saat itu terbuka. Biasanya pintu itu ditutup agar ayam-ayam itu
tidak masuk rumah. Ayam-ayam itu membuang kotoran dimana-mana. Ketika ibuku
mengetahui hal ini, ibuku marah-marah. Ibuku memaki ayam-ayam itu dan kemudian
mengusirnya. Ia juga menyalahkan aku, adikku dan juga bapakku yang tidak
menutup pintu. Ketika aku mendengar hal itu aku mendekati ibuku.
Aku berkata, “Ibu, kalau rumah kita tidak ingin dikotori ayam, jangan pelihara ayam. Kalo ingin tetap pelihara ayam, jangan marah jika ayam-ayam itu buang kotoran sembarangan. Jika ayam itu buang kotoran sembarangan di dalam rumah bersihkan saja. Jangan marah-marah lagi karena kotoran ayam.” Sejak saat itu ibuku tidak pernah marah lagi karena kotoran ayam di dalam rumah.
(Penulis: Sri Widodo, ST; 20 Juni 2015)