Sabtu, 20 Juni 2015

IBU, JANGAN MARAH LAGI



Ayam dan Burung

Bapak dan ibuku adalah seorang petani di desa. Mereka mempunyai sawah beberapa petak yang ditanami tanaman padi. Ketika masa panen tiba biasa mereka menjemur padi di halaman rumah. Agar padi yang dijemur tidak dimakan ayam-ayam, biasanya mereka duduk di serambi rumah. Kadang ayam-ayam itu juga masuk rumah untuk mencari padi. Lalu bapak dan  ibu mengusir ayam-ayam itu agar pergi. Ayam-ayam itu adalah ayam milik ibuku sendiri, tetapi kadang juga ayam milik tetangga.

Suatu hari bapak dan ibuku menjemur padi di halaman rumah. Lalu beberapa ayam mulai berdatangan untuk makan padi jemuran. Ibuku sangat marah dengan hal itu. Ibuku mengusir ayam itu dengan keras sekali. Tak lupa juga diselingi dengan perkataan yang menakutkan. Saat itu aku mendengarnya dari kejauhan dan terus terang aku merasa ketakutan. Ketika malam hari tiba aku mendekati ibuku. 

Aku berkata, “Ibu, dulu saat pengajian di Masjid, Bu Wisnu (Ustadzah di desa) pernah bilang, ‘Kalo anda sebagai petani, kemudian tanaman padinya di sawah dimakan burung, itu adalah sedekah kepada burung.’ Jadi kalo jemuran padi kita dimakan ayam-ayam sedikit jangan marah. Itu sedekah kita kepada ayam. Lagipula ayam-ayam itu milik kita juga atau ayam-ayam tetangga. Kalo yang makan ayam-ayam tetangga, itu sedekah untuk ayam tetangga. Bukankah kita sering juga dapat makanan pemberian dari tetangga kita?” Aku melanjutkan perkataan, “Lain kali, jika jemuran padi dimakan ayam-ayam, diusir saja dengan tepukan tangan. Jangan marah-marah lagi.” Sejak saat itu ibuku tidak marah lagi karena ayam.

Kotoran Ayam

Ibuku suka memelihara ayam kampung. Tetapi beberapa tahun terakhir mengalami kesulitan. Setiap kali ibuku memelihara ayam, ayamnya selalu mati. Kami tidak tahu mengapa ayam-ayam itu mati. Lalu ibuku membeli lagi beberapa ekor ayam di pasar untuk indukan. Tetapi ketika ayam bertelur dan beberapa ekor anaknya menetas, ayam itu juga mati. Demikian juga beberapa anaknya dalam waktu yang bergantian. Sehingga hanya tinggal satu ekor anak ayam yang tumbuh menjadi besar.

Seekor ayam yang masih bertahan hidup itu warnanya bulunya abu-abu. Dari ayam itu kemudian bertelor dan menetaskan beberapa ekor anak ayam. Berjalannya waktu, ayam ibuku menjadi lebih dari sepuluh ekor. Sebenarnya aku tidak suka ayam-ayam itu, karena hampir semua ayam warna bulunya abu-abu. Tetapi inilah kenyataan, dari ayam bulu abu-abu itulah yang membuat ayam ibuku menjadi banyak. Lambat laun, aku bisa menerima kehadiran ayam-ayam berbulu abu-abu di rumah. 

Ayam itu dilepas bebas di pagi hari dan dikurung menjelang malam hari. Sering kali ayam-ayam itu masuk rumah untuk mencari makanan beras atau padi. Kemudian ayam itu membuang kotoran sembarangan. Ibuku marah karena hal itu. Bukan hanya sekali atau dua kali tetapi berkali-kali.

Suatu hari kami mengalami kejadian yang sama. Ayam kami itu tiba-tiba masuk rumah melalui pintu belakang yang saat itu terbuka. Biasanya pintu itu ditutup agar ayam-ayam itu tidak masuk rumah. Ayam-ayam itu membuang kotoran dimana-mana. Ketika ibuku mengetahui hal ini, ibuku marah-marah. Ibuku memaki ayam-ayam itu dan kemudian mengusirnya. Ia juga menyalahkan aku, adikku dan juga bapakku yang tidak menutup pintu. Ketika aku mendengar hal itu aku mendekati ibuku. 

Aku berkata, “Ibu, kalau rumah kita tidak ingin dikotori ayam, jangan pelihara ayam. Kalo ingin tetap pelihara ayam, jangan marah jika ayam-ayam itu buang kotoran sembarangan. Jika ayam itu buang kotoran sembarangan di dalam rumah bersihkan saja. Jangan marah-marah lagi karena kotoran ayam.” Sejak saat itu ibuku tidak pernah marah lagi karena kotoran ayam di dalam rumah.
 (Penulis: Sri Widodo, ST; 20 Juni 2015)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar