Rabu, 30 Desember 2015

KISAH NABI IBRAHIM DAN ISMAIL- DAUN PINTU



Ibnu Abbas RA mengisahkan sebuah riwayat sebagai berikut:

Suatu hari Nabi Ibrahim AS berkunjung ke rumah putranya, Ismail AS, yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.

Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail AS belum mengenal Ibrahim AS sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail AS pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."

Kemudian Ibrahim AS bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "Kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.

Setelah mendengar keluh kesah istri putranya, Ibrahim AS berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa aku memintanya untuk mengganti pintu rumahnya."

Sekembalinya Ismail AS ke rumah, istrinya langsung menceritakan perihal kedatangan tamu tak dikenal tadi. la juga menyampaikan pesan yang dititipkan kepadanya. Lalu, Ismail AS berkata, "Lelaki tadi adalah ayahku. Adapun maksud dari pesannya adalah agar aku menceraikanmu. Karena itu kembalilah kamu kepada keluargamu."

Waktu berlalu, Ibrahim AS kembali mengunjungi putranya. Sama seperti sebelumnya, Ismail AS tidak ada di rumah. la disambut baik oleh menantunya yang baru, wanita Jurhum, putri Mudzadz bin 'Amr yang dinikahi Ismail AS.

Kemudian Ibrahim AS menanyakan tentang kehidupan mereka. Istri Ismail tersebut menceritakan tentang kebaikan suami dan rumah tangganya. Ibrahim AS merasa lega karena putranya telah memilih pasangan hidup yang salehah.

Kemudian sebelum pulang ia berpesan kepada menantunya yang salehah, "Sampaikanlah kepada suamimu, sekarang ambang pintu rumahmu telah kuat. Jagalah ia baik-baik." Ibrahim AS pun beranjak pergi dari kediaman putranya.

Ketika Ismail AS pulang ke rumah, ia disambut oleh sang istri dengan baik, kemudian bercerita tentang kedatangan lelaki tua tidak dikenal dan menyampaikan pesan darinya. la pun menanyakan maksud dari pesan tersebut.

Ismail AS pun menjelaskan, "Beliau adalah ayahku. Adapun yang beliau maksud sebagai ambang pintu rumah yang sudah kuat adalah dirimu. Aku telah benar memilih istri yang salehah dan aku disuruh untuk menjagamu."

RA artinya Radhiallahu ‘Anhu
AS artinya Alaihis Salam

****Sumber:http://ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2010/02/gantilah-pintumu.html

ARTIKEL LAIN TERKAIT :




Minggu, 18 Oktober 2015

KELUARGA TELADAN



Kesederhanaan Rasulullah SAW
 
Umar bin Khattab RA berkata, “Puteriku Hafshah, ceritakan kepadaku tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW selama bersamamu.” Hafshah  menjelaskan, “Rasulullah SAW memiliki sepasang pakaian yang dipakai pada hari Jumat ketika menerima tamu. Makanannya roti terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Ketika kuoleskan mentega dari kaleng yang mulai kosong, beliau memakannya dengan penuh nikmat dan membagi-bagikannya kepada orang lain. Kala tidur, beliau hanya menggunakan sehelai kain tebal, ketika musim panas dilipat empat dan musim dingin tiba beliau lipat menjadi dua. Separuh sebagai alas tidur dan lainnya untuk selimut.” Kalifah Umar bin Khattab RA berkata, “Pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Rasulullah mencontohkan pola hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akherat. Dan aku akan mengikuti jejak langkahnya hingga kelak aku bertemu dengannya.” 

Kearifan dan Kebijaksanaan

Suatu hari,  Khalifah Umar bin Abdul Azis mendapati salah seorang puteranya berlumuran darah dilukai seorang anak nakal. Orang tua anak nakal itu segera menghadap Umar untuk meminta maaf. Umar memaafkannya dan memberikan uang begitu mengetahui bahwa anak nakal tersebut adalah seorang anak yatim.  Melihat tindakan Umar, istrinya keheranan seraya bertanya, “Wahai suamiku, anak itu telah melukai anak kita. Mengapa engkau malah memberinya uang?” Sambil menenangkan istrinya, Umar bin Abdul Azis menjawab, “Anak itu memang nakal. Namun ia adalah anak yatim yang harus kita bantu.” Istri Umar bin Abdul Azis pun mengerti apa yang dilakukan suaminya. 

Dalam kisah yang lain, Khalifah Umar bin Abdul Azis masuk ke sebuah masjid bersama pengawalnya. Karena keadaan malam dan gelap, kaki Umar menyandung seseorang yang sedang tidur. Orang tersebut terbangun kaget. Dengan kesal ia membentak Umar, “Hai, apakah kamu ini gila?” Gelapnya suasana saat itu membuat orang itu tidak tahu kalau yang dihardiknya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tapi Umar bin Abdul Azis menjawab dengan tenang, “Tidak. Saya tidak gila. Saya mohon maaf karena telah menginjak kaki anda tanpa sengaja.”  Pengawal yang mendampingi Umar bin Abdul Azis marah. Ia hendak memukul orang itu. Namun, Umar segera memegang tangan pengawalnya, serasa berbisik, “Sabarlah. Orang ini hanya  bertanya apakah aku gila atau tidak? Lalu kujawab bahwa aku tidak gila.” Keduanyapun berlalu.

Dalam kesempatan lain, ketika ada yang memakinya, dengan tenang Umar bin Abdul Azis berkata, “Saudaraku apakah engkau ingin aku kehilangan pahala di akherat?”
 
Keluarga Syaikh Dan Buah Semangka
 
Suatu hari seorang Syaikh membeli buah semangka di pasar. Tujuan utamanya, ingin membahagiakan keluarganya. Ketika sampai di rumah, anggota keluarganya marah-marah dan tidak menyenangi semangka itu. Syaikh berkata, “Kepada siapa kalian marah? Kepada penjual? Pembeli? Penanam? Atau  Allah yang menciptakannya?” Syaikh melanjutkan, “Jika kepada penjual, maka ia telah menjual yang terbaik. Jika kepada pembeli, ia telah memilah buah semangka yang baik. Jika kepada penanam, ia telah menanam bibit unggulan. Jika kepada Yang Menciptakan, bertaqwalah dan ridhalah atas segala ketetapan-Nya.” Akhirnya keluarga Syaikh tersebut sadar dan mereka pun mau memakan buah semangka itu. Mereka mengerti, bahwa semangka itu merupakan karunia yang berharga dari sisi Allah bagi makhluk-Nya.

Petani Tua dan Petani Muda
 
Ada seorang petani desa yang sudah renta dan lemah. Dia tampak asyik sedang menanam pohon kelapa di kebunnya. Seorang petani yang masih muda mencoba mendekati petani tua itu. Lalu ia  bertanya, “Wahai kakek, mengapa engkau menanam pohon kelapa ini, sementara engkau sudah tua renta? Bukankah umurmu tidak sepanjang usia pohon kelapa ini sampai ia berbuah?” Sambil tersenyum kakek itu menjawab, “Memang umurku sudah tua, bahkan tulang-tulangku pun sudah terasa lemah. Tapi aku menanam pohon kelapa ini, agar bisa dimanfaatkan oleh anak cucuku nanti. Bukankah dulu aku bisa  menikmati tanaman di kebun ini, karena orang-orang sebelumku yang telah menanam sebelumnya? Biarlah ia menjadi amal jariah bagiku di hadapan Allah.”