Jumat, 13 September 2013

MEMBESARKAN ANAK KREATIF


(Para Orang Tua Seharusnya Tahu)

Tahukah anda bahwa selama ini kita hanya menggunakan 3% dari seluruh kemampuan otak kita? Itu disebabkan karena sebagian besar kemampuan otak kita terkunci di dalam pikiran bawah sadar, yang merupakan bagian dari otak kanan. Sementara selama ini hampir seluruh kehidupan kita, baik mulai dari sekolah sampai kegiatan sosial sehari-hari, hanya menekankan pada kemampuan otak kiri.

Telah ditemukan bahwa keseimbangan otak kanan dan kiri pada awal kehidupan anak dapat meningkatkan kecerdasan  sampai batas maksimal. Salah satu unsur yang dikendalikan oleh otak kanan adalah daya kreativitas. Bagaimana mengembangkan daya kreativitas anak? Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan konsep dan gagasan yang sama sekali baru, berbeda dan unik, yang sebelumnya tidak ada pembuatnya.  Kreativitas bukanlah fantasi semata, namun harus mempunyai maksud dan tujuan.

Antara Kreativitas dan Inteligensi

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku intelegensi, karena merupakan manifestasi dari proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penilitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi pada IQ yang lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.

Mengapa bisa terjadi? J. P Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban, berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis, berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen. Walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

Seberapa pentingkah kreativitas?

Kreativitas sangat penting bagi penyesuaian pribadi dan sosial yang baik dan anak. Kreativitas juga dapat memberikan kesenangan dan kepuasan pribadi yang sangat besar bagi anak. Ini merupakan pengaruh penting dalam perkembangan kepribadiannya. Tidak ada yang memberi rasa puas yang lebih besar bagi anak, daripada menciptakan sesuatu sendiri. Dan tidak ada yang lebih mengurangi harga diri anak, daripada kritikan dan ejekan terhadap hasil kreasinya. Bahkan sekedar pertanyaan, “Sebenarnya itu bentuk apa sih?” terhadap bentuk kreasi yang dibuatnya. Perlu diingat, kreativitas merupakan suatu proses, buan suatu hasil. Kreativitas mengarah pada proses penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan unik bagi anak, baik itu berbentuk lisan atau tulisan, konkrit atau abstrak.

Dapatkah ditingkatkan?

Sampai saat ini, para ahli perkembangan anak belum dapat memastikan, manakah yang lebih banyak mengembangkan kreativitas anak, di antaranya faktor bawaan dan cara mendidik orang tua. Namun yang jelas, para ahli sependapat bahwa kreativitas anak dapat ditingkatkan. Bagaimana caranya?
Ø  Adanya waktu/kesempatan yang cukup
Agar menjagi kreatif, berikanlah anak kesempatan untuk bebas bermain-main dengan gagasan dan konsepnya, serta biarkan dia mencobanya dalam bentuk baru dan orisinal. Kegiatan yang terlalu dibatasi hanya akan membuat kreativitasnya padam.
Ø  Kesendirian
Anak dapat menjadi kreatif bila ia tidak mendapat tekanan dari kelompok sosial. Dengan adanya waktu dan kesempatan menyendiri, anak dapat mengembangkan kehidupan yang kaya imajinasi.
Ø  Dorongan
Terlepas dari seberapa jauh prestasi anak memenuhi standar orang dewasa, dorongan untuk menjadi kreatif sangat dibutuhkan. Selama ini, kebanyakan anak kreatif mendapatkan ejekan dan kritikan, karena hal baru dan aneh yang mereka hasilkan. Bimbingan dan dorongan dari lingkungan rumah dan sekolah yang diberikan semenjak dini, dapat menjadikan kreativitas sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan dan dihargai secara sosial.
Ø  Sarana
Sarana bermain yang tersedia dapat merangsang dan mendorong anak untuk bereksperimen dan bereksplorasi dengan benda-benda disekelilingnya. Dua hal ini merupakan unsur penting yang mendukung kreativitas.
Ø  Kesempatan mendapat pengetahuan
Semakin banyak pengetahuan yang didapat anak, kreativitasnyapun akan semakin terasah. Doronglah anak untuk mau memanfaatkan waktunya untu mencari ilmu sebanyak-banyaknya, agar wawasan anak lebih berkembang!
Ø  Hubungan orang tua dan anak
Kreativitas dapat mempengaruhi oleh hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang terlalu keras terhadap anak. Sementara, orang tua yang tidak terlalu melindungi (posesif) terhadap anak, mendorong anak untuk mandiri dan percaya diri. Dua kualitas yang sangat mendukung kreativitas.

Biarkan Kreativitasnya Berkembang

Grub menjelaskan bahwa dalam satu tes, mereka memberikan beberapa pertanyaan sederhana. Misalnya,”Bagaimana Anda dapat menggunakan sepotong kertas?” Semakin banyak ataupun semakin asing  jawaban yang diberikan, maka mereka dianggap semakin kreatif. Tidak mengherankan, orang tua yang kreatif tampaknya mempunyai anak-anak yang lebih kreatif.

Dengan memusatkan perhatian pada cara orang tua mendidik, para peneliti merekam interaksi antara orang tua dan anak mereka saat sedang bermain. Mereka membuat asumsi bahwa orang tua dengan cara mendidik yang paling mendukung dan memungkinkan, akan mempunyai anak-anak paling kreatif. Memungkinkan berarti bersikap sangat fokus kepada anak, bertanya tentang apa yang ingin ia lakukan, mengapa begini atau begitu, serta hal lain yang seperti itu. Benarkah demikian?

Ternyata dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa asumsi yang mereka buat keliru. Gaya mendidik yang memungkinkan bukan hanya tidak ada kaitannya dengan tingkat kreativitas tertentu pada anak. Akan tetapi justru (meskipun tidak besar) cenderung menyebabkan berkurangnya kreativitas.  Malah gaya ini dapat berkembang menjadi sikap memaksa  yang membuat orang tua sering berkata, “ Jangan begitu, lakukan seperti ini”, dan tidak memberikan banyak pilihan kepada anaknya.

Riset Dr Dale Grubb menunjukkan bahwa anak yang orang tuanya benar-benar membiarkan mereka  akan menjadi lebih kreatif dibandingkan anak yang orang tuanya lebih banyak terlibat dalam proses kreativitas mereka. Sebaliknya, para orang tua yang suka mengajari berbagai hal kepada anak-anak mereka, cenderung mempunyai anak-anak yang kurang kreatif. Ini karena orang tua terlalu berlebihan mencoba terlibat dalam proses kreativitas anak.

Bagaimana kreativitas terhambat?

Sejak awal, kreativitas terlihat dari cara-cara bayi bermain dengan mainannya. Pada waktu itu, setiap hal yang menghalangi kreativitas dapat membekukan kreativitas. Apa saja itu?

·         Kurangnya Rangsangan
Kurangnya rangsangan dapat disebabkan dari ketidaktahuan orang tua tentang pentingnya kreativitas. Juga adanya anggapan orang tua bahwa kreativitas merupakan faktor bawaan, sehingga  alam akan membentuk kreativitas anak dengan sendirinya. Akibatnya rangsangan untuk kreatif sering diabaikan. Saat anak telah masuk sekolah, mereka baru memperoleh rangsangan yang pada saat itu mungkin sudah terlambat, karena anak telah terbiasa mengikuti pola yang telah diberikan orang lain, sehingga bertindak atau berpikir kreatif menjadi terlalu sulit.

·         Sikap negatif dari lingkungan
Gagasan yang aneh, tidak wajar dan terkadang tampak tidak masuk akal, seringkali identik dengan anak yang kreatif. Itu pula yang menyebabkan anak kreatif lebih banyak mendapatkan kritikan dari lingkungan.

·         Kurangnya penghargaaan
Kurangnya penghargaan tidak saja mengurangi kreativitas, namun lebih buruk lagi. Hal ini menunjang perilaku menyimpang dengan mengembangkan konsep diri yang negatif dalam diri anak. Beberapa anak yang kreatif, mungkin akan menarik diri dari lingkungan yang menganggap mereka negatif. Sementara anak yang lain menunjukkan sikap membangkang.

TIPS BERMAIN KREATIF

Menjadi kreatif, penting bagi anak kecil karena menambah makna dalam permainannya. Saat kreativitas dapat membuat menyenangkan, anak akan merasa bahagia dan puas. Dua hal ini akan membantu dalam menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. 

Krativitas dalam diri anak dapat terbentuk dari aktivitas bermain dengan dukungan berbagai alat permainan. Beberapa tip berikut dapat anda pertimbangkan :

-          Hindari  alat-alat permainan yang memaksakan konsep struktur, atau membatasi kreativitas anak, misalnya memberikan boneka dengan pakaian lengkap, atau buku berwarna dengan gambar yang tinggal diwarnai. Jauh lebih baik berikan kepada mereka kertas putih yang polos, bukan buku mewarnai (dengan gambar-gambar yang telah diterapkan sebelumnya) dan biarkan mereka menemukan sendiri kemana mereka ingin pergi. Jangan biarkan anak kehilangan kesempatan untuk bermain yang dapat mendorong perkembangan kreativitasnya.

-          Pilihlah alat-alat permainan yang bentuknya lebih mudah dibentuk seperti lilin mainan. Kreativitas anak lebih banyak berkembang jika anak dibiarkan bermain sambil berimajinasi. Bentuk alat permainan balok-balok yang saling disambung hanya dapat membentuk bangunan persegi yang terbatas, tidak terlalu banyak mengembangkan daya kreativitas anak.

Satu hal yang paling sering diabaikan adalah memberikan penghargaan akan apapun hasil yang akan anak lakukan. Anak mungkin saja menggambar atau membuat sesuatu yang terlihat konyol atau tidak masuk akal, namun tetap berikan pujian karena mereka telah mencoba membuat sesuatu yang baru. Jika orang tua menghargai kreativitas anak dan memberikan dukungan tanpa terlalu mengarahkan, maka mereka mungkin akan mempunyai anak-anak yang lebih kreatif. Apalagi, bila mereka sendiri juga kreatif.


****
Ditulis ulang oleh : Taksaka Wulung – taksaka.foundation@gmail.com
Sumber :  Majalah Nikah Edisi 6/I/2002 Halaman 57-59




MANAJEMEN KONFLIK KELUARGA

Jangan percaya kalau ada pasangan suami istri mengaku tidak pernah mengalami konflik dalam pernikahan. Meski tidak ada yang menghendaki, konflik dalam rumah tangga adalah sebuah kepercayaan, baik kecil ataupun besar. Tetapi bila dikelola dengan baik, konflik bisa membuat pernikahan semakin berkualitas, berkembang dan maju.

Memang Beda

Sejak awal pernikahan, kita sudah menyadari adanya perbedaan dua kepribadian yang sudah ‘jadi’. Meski mungkin berasal dari komunitas pengajian yang sama, yang mungkin memiliki visi, misi dan tujuan pernikahan sama, toh masing-masing dari kita memiliki latar belakang, keinginan dan sikap berbeda. Sementara begitu menjadi pasangan suami istri, persoallan-persoaan inilah yang paling sering mengalami persinggungan. Sehingga hal-hal  yang nampak sepele sekalipun, sangat mungkin memicu munculnya konflik.

Perbedaan latar belakang ini jika sekal awal disadari akan sangat membantu bila konflik betul-betul datang mendera. Kesadaran bahwa memang ada hal-hal yang harus dipertemukan, disepakati dan dipahami bersama dalam pernikahan, akan melahirkan kedewasaan. Di samping menyediakan lapangan amal shalih yang relatif luas, konflik juga akan mengajari kita untuk banyak mengalah, berkorban, toleran dan tidak menuntut, sekaligus membuat kita lebih mengenal pasangan. “Oh ternyata dia begitu to?” kemudian segera mencari solusi terbaik.

Meski munculnya konflik bisa berpotensi positif bagi kedua belah pihak, konflik juga berpotensi negatif jika tidak hati-hati mengelolanya. Mulai dari sumber ketidakharmonisan pernikahan, sampai yang paling serius, ancaman perceraian! Tantu saja tak ada yang menginginkan pernikahannya kandas di tengah jalan, apalagi hancur berantakan. Jika telah ada buat hati, hal ini tentu saja sangat menyakitkan. Tidak sedikit yang kemudian mengalami trauma berkepanjangan.

Pelaut Tangguh 

Ibarat mengarungi samudera, bahtera bernama rumah tangga akan banyak dihantam badai. Hanya pelaut tangguh yang bisa mengendalikan laju bahteranya agar tetap berlabuh sampai di tujuan. Untuk itu dia harus mengenali arah mata angin, jenis angin yang sedang bertiup, sampai ilmu bagaimana menghadapi terpaan gelombang dan hantaman badai.

Banyak hal yang bisa memicu konflik. Soal selera makanan, warna pakaian dan gaya hidup, pembagian waktu di dalam dan di luar rumah, pola pengasuhan anak, atau rahasia kamar tidur. Pendeknya semua hal yang bisa saja menjadi sumber konflik dalam pernikahan. Belum lagi sejumlah tekanan yang mungkin dialami pasangan suami-istri; seperti kondisi keuangan yang sulit, kerabat yang ikut campur, tuntutan pasangan yang berlebihan, dan fitnah rumah tangga.

Meski persoalan-persoalan tersebut kekanak-kanakan, faktanya banyak pasangan yang bercerai karena masalah-masalah yang benar-benar sepele. Ada lho pasangan yang bercerai hanya karena masalah kentut dan kebiasaan suami mendengkur.

Sumber Konflik

Kita perlu mengenali sumber-sumber konflik dan mengapa hal itu sampai menimbulkan perselisihan di antara kita. Yang pertama adalah hal-hal yang sangat biasa seperti selera makan, cara menghidangkan makanan dan makan, warna pakaian pasangan, model perabot rumah, atau hal-hal sejenis yang sebenarnya remeh. Biasanya, pasangan yang belum matang secara psikis akan menemui konflik karena hal-hal semacam ini. Mereka berpikir dangkal. Sebab orientasi hidup mereka pun dangkal dan sangat ‘hari ini’. Padahal pasti masing-masing pasangan memiliki banyak kelebihan pada hal-hal yang lebih besar dan prinsipil. Juga lebih berjangka panjang.
Ada juga konflik yang bersumber dari perilaku pasangan kita, seperti kebiasaan buruk pasangan yang mudah marah, berbicara jorok, keras kepala dan mau menang sendiri. Juga pasangan yang suka berbohong, gila hobi, terlalu dominan atau gila kerja. Hal-hal seperti ini biasanya berasal dari salah asuhan, yang tentunya tidak gampang merubahnya.

Kedua, sumber konflik yang lain bisa berasal dari hubungan dengan mertua, ipar atau orang tua sendiri pasca pernikahan. Orang tua atau mertua yang membanding-bandingkan kita dengan anak atau menantu yang lain, terlalu ikut campur urusan rumah tangga kita, sampai mertua atau orang tua kita meminta jatah bulanan dan penghasilan kita. Belum lagi persaingan antar saudara ipar dalam merebut perhatian pasangan, orang tua atau mertua, juga persaingan dalam perolehan materi. Apalagi jika banyak di antara saudara ipar yang tidak sejalan dalam pemahaman agamanya.

Ketiga, konflik yang bersumber dari konskuensi keimanan yang kita pilih. Hidup di lingkungan penuh dengan maksiyat, sementara  kita tidak ingin dicap sebagai warga yang eklusif tentu melahirkan sejumlah masalah. Keadaan ekonomi yang tidak kunjung membaik, sedangkan penghayatan iman kita yang fluktuatif (naik turun) tentu menjadi masalah. Meski yang membaikpun bukan berarti sepi dari masalah. 

Kecewa

Konflik-konflik yang muncul dalam pernikahan sering melahirkan kekecewaan di hati kita. Banyak yang kemudian tergesa-gesa menghukum bahwa dia telah salah pilih. Meski tentu saja tidak selalu benar. Untuk itu, sangat dianjuran untuk mencari pasangan yang se’level’ atau se-kufu dalam banyak hal, agar membantu proses adaptasi, saling memahami dan menerima antar pasangan. Agar pula bisa meminimalisir kemungkinan munculnya jurang perbedaan yang terlalu besar. Meski bagi sebagian orang se-kufuan lebih dititikberatkan pada pemahaman agama dan pengamalannya.

Kekecewaan yang muncul kadang disembunyikan, dan tidak dinyatakan secara terbuka. Kita tidak mendialogkan, membicarakan ataupun mengungkapkannya dalam bentuk kemarahan. Hanya melakukan ‘perang’ hati. Banyak yang berharap agar hal itu diselesaikan dengan sendirinya sejalan dengan berjalannya waktu. Ini tentu saja tidak sehat dan tidak memecahkan masalah yang sebenarnya. Tidak mustahil, hal ini ibarat bom waktu yang hanya menunggu saat untuk meledak, ketika kekecewaan tidak bisa lagi ditolerir.

Ada pula yang melakukan perang terbuka, sebab kekecewaan yang dia rasakan diungkapkan dalam bentuk kemarahan. Melontarkan kata-kata pedas secara frontal karena tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia tidak bisa menerima apa yang dia lihat dan rasakan. Inilah pertengkaran, yang jika tidak segera dicari pemecahannya, tentu akan menyulut kemarahan dan kekecewaan yang semakin besar.

Hanya saja, apapun alasannya, sebaiknya tidak melakukan pertengkaran terbuka di depan anak-anak. Sebab anak-anak balita seringkali berpikir bahwa merekalah penyebab pertengkaran orang tua. Anak akan merasa bersalah dan gelisah. Pada bayi, perasaan itu kadang diungkapkan dengan rewel.

Sedang bagi anak-anak yang lebih besar, pertengkaran kedua orang tua sering memunculkan perasaan takut jika orang tua mereka bercerai. Sementara mereka tidak siap untuk memilih ikut siapa. Mereka bahkan takut membayangkan kemungkinan bagaimana keadaan mereka setelah perceraian itu.

Solusi
Banyak solusi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik pernikahan. Mencoba untuk lebih bersabar menerima keadaan, berani menghadapi dan memilih jalan terbaik. Bisa dengan melakukah muhasabah, mengingat kebaikan-kebaikannya, merenungi komitmen pernikahan, atau memikirkan psiokologi anak.
Yang kedua adalah berani melakukan dialog, sebab banyak konflik  yang muncul karena tidak adanya dialog yang sehat. Masing-masing merasa benar dengan persepsinya sendiri-sendiri. Bisa saja obrolan ringan dan dari hati ke hati, mencairkan kebekuan dan memperjelas pemahaman tentang pasangan.
Terakhir jika kedua hal di atas gagal kita lakukan adalah dengan mencari pihak ketiga sebagai penengah. Tentu saja pihak yang netral dan tidak memihak agar tidak malah semakin mengeruhkan suasana. Allah berfirman dalam surat An Nisaa ayat 35, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.


Sumber : Majalah  ar-risalah No 34/April 2004 halaman 48-50




KEAGUNGAN PERNIKAHAN


Di dalam Al Qur’an, Allah SWT menyebut pernikahan sebagai Miitsaaqaan Ghakizha, artinya perjanjian yang kuat. “Bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa 4 : 21)
Hal ini sama dengan perjanjian Allah SWT dengan Nabi-nabi pilihannya. Senada pula dengan perjanjian antara Allah SWT dengan Bani Israil. Untuk ketiga kalinya istilah ini disebutkan Allah dalam Al Qur’an. Dengan demikian bisa dipahami, bahwa pernikahan sejatinya merupakan ikatan yang paling kuat yang memadukan dua insan. Pernikahan bukan ikatan main-main yang bisa disikapi dengan sekehendak hati kita sendiri. Bukan. Kalaupun di dalamnya ada kesenangan-kesenangan yang kita rasakan bersama, tidaklah bisa itu kemudian melalaikan kita akan sebuah amanah besar di sebaliknya.

Rasulullah SAW bersabda : ”Wahai manusia, sesungguhnya isteri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka adalah mereka (para isteri) tidak boleh mengijinkan orang yang tidak kalian senangi masuk rumah, kecuali dengan ijin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus isteri kalian. Aku wasiatkan kalian selalu berbuat baik.

Inilah pesan suci yang disampaikan Sang Nabi, ketika beliau melaksanakan ibadah suci Haji Wada. Inilah pesan suci yang merupakan bagian dari khutbah wada’ beliau  SAW. Di sinilah Rasulullah SAW mengingatkan tentang hak sebagai suami-istri. Bahwa ketika Ijab-Qobul pernikahan itu telah kita ikrarkan, maka ada yang harus dijaga dalam perjanjian kuat itu. Ada amanah berat dibalik perjanjian agung itu.Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik”, begitu kata terakhir Rasulullah SAW ketika menyampaikan wasiat tentang pernikahan. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan ikatan main-main belaka. Ada amanah besar atas janji yang kita ucapkan. Ada konskuensi berat atas sebuah keputusan besar yang telah kita ambil.

Rela Menerima Apa Adanya

Di dalam perjanjian pernikahan yang kita ikrarkan, sesungguhnya ada janji hati untuk rela menerima pasangan apa adanya.  Inilah yang kelak akan sangat menentukan bagaimana kisah pernikahan kita selanjutnya. Rela di sini dalam makna menerima segala apapun keadaan pendamping kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Karena di sinilah pribadi kita dipertaruhkan. Ketika kita menerima dia sebagai pendamping hidup kita, artinya kita memutuskan untuk tidak menyesal atas keputusan yang telah kita ambil.

Memutuskan untuk menerimanya menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita. Memutuskan  untuk mau memperhatikan dirinya, merawatnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Melindunginya dari segala sesuatu yang dapat merusak dirinya. Ini bukan persoalan kecil. Integritas pribadi kita dipertaruhkan. Sekali janji itu tak terbukti, maka kepercayaan kepada pasangan kita akan hilang. Adakah pernikahan yang dibangun tanpa adanya kepercayaan? Bila ada pernikahan yang berakhir dengan perceraian, maka  itulah jawabannya.

Harus disadari bahwa pernikahan tak selamanya berjalan linier. Pun tak selamanya ia akan naik dan turun. Demikian juga dengan sikap rela menerima pasangan apa adanya. Inipun tak selamanya dalam kondisi kondusif secara emosional. Akan ada ujian. Ada saat dimana kesetiaan kita akan diuji. Ada waktu dimana janji itu dipertaruhkan. Tapi disitulah tantangannya. Di sinilah seninya. Saat dimana membuktikan ketulusan ditengah situasi yang sulit. Maka siapa yang bisa membuktikan konsistensinya di tengah situasi yang sulit, ia akan lebih bisa membuktikan di saat-saat yang longgar.

Dalam pernikahan yang dibangun atas sikap rela menerima pasangan apa adanya, akan ditemukan kebahagiaan dan kepuasan. Bahagia-sebahagianya dan kepuasan sepuas-puasnya. Tak ada ruang untuk mencari kebahagiaan ditempat lain, karena ia telah temukan kebahagiaan itu di sini. Tak ada sisi untuk mencari kepuasan dengan orang lain, karena bersama pasangan ia telah menemukan semuanya. Maka jangan bertanya tentang logika di sini. Karena ia tak akan mampu  lagi untuk mencerna. Ya. Bagaimana seorang Laila yang masih belia ketika itu, mau menikah dengan seorang Utsman yang telah berusian 80-an tahun?

Usia yang menurut kita sudah cukup renta. Tapi itu adalah keputusannya. Dan dari keputusannnya pula ia telah dapatkan semuanya. Buktinya, ia telah memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah Ustman terbunuh. Bahkan ia merusak wajahnya dan menolak setiap lamaran yang datang kepadanya. Dengan rela ia telah dapatkan semuanya.

Sikap Yang Menentramkan

Dalam perjanjian pernikahan, tersirat sebuah sikap yang menenteramkan. Ijab-Qobul yang terucap, bukan sekedar kata tanpa rasa. Ia adalah ucapan yang menenteramkan. Sebagaimana kata Jalaludin Ar Rumi, bahwa pada suatu hari akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar. Nah, jika kita telah mewujudkan kata-kata itu dalam kehidupan rumah tangga kita, maka jadilah pendamping hidup yang sanggup  memberikan rasa tenteram terhadap pasangan kita, dimanapun dan di saat apapun berada. Pendamping kita harus merasa tenteram, saat bersama kita. Meskipun dalam banyak situasi kita harus rela berkorban apa saja untuk mewujudkannya. Pengorbanan dalam pernikahan ibarat pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Hanyalah dalam rumah yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan ketenteraman, para penghuninya  akan menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertambah menjadi pribadi yang mulia. Rumah seperti itu laksana surga bagi penghuninya. Rumah tangganya pasti utuh, abadi dan langgeng. Hanya maut yang memisahkan mereka. 

Itulah yang kita sebut dengan kekuatan janji pernikahan. Sekali lagi ia bukan sekedar kata tanpa rasa. Jika hanya demikian yang terjadi, maka dimana nilai ‘ sakral’ atas ucapan kata-kata itu.  Bukankah salah satu ciri orang munafik adalah ketika kata tak sejalan dengan perbuatannya? Kita paham bahwa mewujudkan ketenteraman tak sekedar impian. Tapi ia menjadi sebuah cita-cita yang diupayakan. Dan itulah tuntutan atas ikrar yang kita ucapkan dalam Ijab-Qobul pernikahan. Rumah tangga yang terbangun berawal dari janji pernikahan yang terucap lewat Ijab-Qobul. Seterusnya adalah pembuktian atas kata-kata itu. Mengupayakan ketenteraman berarti melakukan ikhtiar terus menerus tiada henti. Maka, jika belum ada ketenteraman dalam rumah tangga kita, teruslah mengupayakannya. Jika kita tidak mau, artinya kita telah berhenti pada satu kata, satu ikrar, satu janji yang tidak terbukti. Jika itu yang terjadi, alangkah ruginya diri kita.

Kesediaan Untuk Berjuang Bersama

Ketika ikrar pernikahan telah terucap, artinya kita telah mengikrarkan diri untuk berjuang bersama. Berjuang dalam arti berkarya, menghasilkan prestasi dalam kehidupan rumah tangga yang kita bangun bersama. Memang seharusnya rumah tangga yang dirancang sepenuhnya untuk membangun sebuah peradaban mulia. Terlalu sederhana, ketika  ia hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik duniawi semata, tanpa tujuan  mulia di dalamnya. Jika itu yang terjadi, bisa jadi rumah tangga hanya akan dipenuhi oleh masalah-masalah kecil yang menyita banyak energi dalam perjalanannya. Pertengkaran dalam keluarga contohnya. Kita hanya disibukkan oleh urusan-urusan kecil tersebut, sebab kita tidak punya agenda besar dalam hidup. Atau kita punya, tetapi tidak serius mewujudkannya.

Rumus sederhananya jika energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita hanya akan tercurah pada masalah-masalah kecil. Berbeda jika kita telah mencanangkan sebuah agenda besar sejak awal pernikahan, maka kita tidak akan membiarkan energi itu terkuras oleh perkara-perkara kecil, kecuali sekedar perlepasan energi yang wajar. Kita berikrar untuk berjuang bersama. Biarlah masalah kecil muncul, kemudian ada dan lewat begitu saja tanpa bekas tersisa yang mengganggu jiwa. Fokus kita akan sebuah tujuan membangun peradaban yang mulia, telah memberikan toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil itu berlalu begitu saja.

Janji pernikahan itu adalah ikrar untuk beramal bersama dalam kebaikan, berjuang bersama membangun peradaban. Ini adalah sebuah komitmen pernikahan. Ia bukanlah janji manis nan romantis yang kosong dan rapuh tanpa ruh. Dengan demikian, kesuksesan pernikahan diukur dari sejauh mana setiap anggota keluarga bisa tumbuh dalam kebaikan, karena peradaban mulia itu terbangun dari kumpulan-kumpulan individu dalam rumah tangga itu. Seperti sungai yang mengalir pada muara besar. Keluarga kita adalah sungai-sungai itu dan muaranya adalah masyarakat. Maka jadikanlah keluarga sebagai sungai-sungai kebaikan yang mengalirkan nilai-nilai kesholihan menuju muara peradaban bernama masyarakat.

Tujuan ini harus dipahami oleh setiap anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena keberhasilan mewujudkan misi pernikahan sebagai basis perjuangan guna membentuk peradaban hanya akan tercapai jika setiap anggota keluarga memahami tentang tujuan besar dan mulia ini. Memahami bahwa sejatinya kebersamaan dalam pernikahan adalah sebuah ikrar untuk berjuang bersama.

Akhirnya menikah adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Seperti semua keputusan lainnya, keputusan kita untuk mengucapkan ikrar pernikahan adalah keputusannnya yang mengandung beban dan resiko. Janji pernikahan yang kita ikrarkan adalah sebuah amanat, tugas dan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Ia adalah ikrar yang kuat, perjanjian yang berat.

Seorang lelaki yang berani mengambil alih hal perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya adalah laksana menandatangani sebuah aqad, sebuah kontrak, sebuah janji. Ia sejatinya telah mengambilnya dengan amanah Allah SWT. Ada komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanah itu memang berat. Tapi begitulah sejatinya. Ketika keputusan besar telah kita ambil. 

Penulis : Penyuluh Agama Islam Fungsional Kantor Kementrian Agama Kabupaten Klaten
Sumber :  Majalah Rindang, Maret 2013 hal 41-43