Di
dalam Al Qur’an, Allah SWT menyebut pernikahan sebagai Miitsaaqaan Ghakizha,
artinya perjanjian yang kuat. “Bagaimana kamu akan
mengambil kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa 4 : 21)
Hal
ini sama dengan perjanjian Allah SWT dengan Nabi-nabi pilihannya. Senada pula
dengan perjanjian antara Allah SWT dengan Bani Israil. Untuk ketiga kalinya
istilah ini disebutkan Allah dalam Al Qur’an. Dengan demikian bisa dipahami,
bahwa pernikahan sejatinya merupakan ikatan yang paling kuat yang memadukan dua
insan. Pernikahan bukan ikatan main-main yang bisa disikapi dengan sekehendak
hati kita sendiri. Bukan. Kalaupun di dalamnya ada kesenangan-kesenangan yang
kita rasakan bersama, tidaklah bisa itu kemudian melalaikan kita akan sebuah
amanah besar di sebaliknya.
Rasulullah
SAW bersabda : ”Wahai
manusia, sesungguhnya isteri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana
kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka adalah mereka (para
isteri) tidak boleh mengijinkan orang yang tidak kalian senangi masuk rumah,
kecuali dengan ijin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika
mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur
mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika
mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka
sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari
Allah dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada
Allah dalam mengurus isteri kalian. Aku wasiatkan kalian selalu berbuat baik.”
Inilah
pesan suci yang disampaikan Sang Nabi, ketika beliau melaksanakan ibadah suci
Haji Wada. Inilah pesan suci yang merupakan bagian dari khutbah wada’ beliau
SAW. Di sinilah Rasulullah SAW mengingatkan tentang hak sebagai suami-istri. Bahwa
ketika Ijab-Qobul pernikahan itu telah kita ikrarkan, maka ada yang harus
dijaga dalam perjanjian kuat itu. Ada amanah berat dibalik perjanjian agung
itu. “Aku
wasiatkan kalian untuk berbuat baik”, begitu kata terakhir Rasulullah SAW
ketika menyampaikan wasiat tentang pernikahan. Sekali lagi ini
menunjukkan bahwa pernikahan bukan ikatan main-main belaka. Ada amanah besar
atas janji yang kita ucapkan. Ada konskuensi berat atas sebuah keputusan besar
yang telah kita ambil.
Rela Menerima Apa Adanya
Di
dalam perjanjian pernikahan yang kita ikrarkan, sesungguhnya ada janji hati
untuk rela menerima pasangan apa adanya. Inilah yang kelak akan sangat
menentukan bagaimana kisah pernikahan kita selanjutnya. Rela di sini dalam
makna menerima segala apapun keadaan pendamping kita dengan segala kekurangan
dan kelebihannya. Ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Karena
di sinilah pribadi kita dipertaruhkan. Ketika kita menerima dia sebagai
pendamping hidup kita, artinya kita memutuskan untuk tidak menyesal atas
keputusan yang telah kita ambil.
Memutuskan
untuk menerimanya menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita. Memutuskan untuk
mau memperhatikan dirinya, merawatnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Melindunginya dari segala sesuatu yang dapat merusak dirinya. Ini bukan
persoalan kecil. Integritas pribadi kita dipertaruhkan. Sekali janji itu tak
terbukti, maka kepercayaan kepada pasangan kita akan hilang. Adakah pernikahan
yang dibangun tanpa adanya kepercayaan? Bila ada pernikahan yang berakhir
dengan perceraian, maka itulah jawabannya.
Harus
disadari bahwa pernikahan tak selamanya berjalan linier. Pun tak selamanya ia
akan naik dan turun. Demikian juga dengan sikap rela menerima pasangan apa
adanya. Inipun tak selamanya dalam kondisi kondusif secara emosional. Akan
ada ujian. Ada saat dimana kesetiaan kita akan diuji. Ada waktu dimana janji itu
dipertaruhkan. Tapi disitulah tantangannya. Di sinilah
seninya. Saat dimana membuktikan ketulusan ditengah situasi yang sulit.
Maka siapa yang bisa membuktikan konsistensinya di tengah situasi yang sulit, ia akan lebih bisa membuktikan di saat-saat yang longgar.
Dalam
pernikahan yang dibangun atas sikap rela menerima pasangan apa adanya, akan ditemukan kebahagiaan dan kepuasan. Bahagia-sebahagianya dan kepuasan sepuas-puasnya. Tak
ada ruang untuk mencari kebahagiaan ditempat lain, karena ia telah temukan
kebahagiaan itu di sini. Tak ada sisi untuk mencari kepuasan dengan orang
lain, karena bersama pasangan ia telah menemukan semuanya. Maka jangan bertanya
tentang logika di sini. Karena ia tak akan mampu lagi untuk mencerna.
Ya. Bagaimana seorang Laila yang masih belia ketika itu, mau menikah dengan
seorang Utsman yang telah berusian 80-an tahun?
Usia
yang menurut kita sudah cukup renta. Tapi itu adalah keputusannya. Dan dari
keputusannnya pula ia telah dapatkan semuanya. Buktinya, ia telah memutuskan
untuk tidak menikah lagi setelah Ustman terbunuh. Bahkan ia merusak wajahnya
dan menolak setiap lamaran yang datang kepadanya. Dengan rela ia telah dapatkan
semuanya.
Sikap Yang Menentramkan
Dalam
perjanjian pernikahan, tersirat sebuah sikap yang menenteramkan. Ijab-Qobul yang
terucap, bukan sekedar kata tanpa rasa. Ia adalah ucapan yang menenteramkan.
Sebagaimana kata Jalaludin Ar Rumi, bahwa pada suatu hari akan berjatuhan
bagaikan hujan, lalu tersebar. Nah, jika kita telah mewujudkan kata-kata itu
dalam kehidupan rumah tangga kita, maka jadilah pendamping hidup yang sanggup memberikan
rasa tenteram terhadap pasangan kita, dimanapun dan di saat apapun berada.
Pendamping kita harus merasa tenteram, saat bersama kita. Meskipun dalam banyak
situasi kita harus rela berkorban apa saja untuk mewujudkannya. Pengorbanan
dalam pernikahan ibarat pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Hanyalah dalam
rumah yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan ketenteraman, para
penghuninya akan menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus
bertambah menjadi pribadi yang mulia. Rumah seperti itu laksana surga bagi
penghuninya. Rumah tangganya pasti utuh, abadi dan langgeng. Hanya maut
yang memisahkan mereka.
Itulah
yang kita sebut dengan kekuatan janji pernikahan. Sekali lagi ia bukan sekedar
kata tanpa rasa. Jika hanya demikian yang terjadi, maka dimana nilai ‘ sakral’
atas ucapan kata-kata itu. Bukankah salah satu
ciri orang munafik adalah ketika kata tak sejalan dengan perbuatannya? Kita
paham bahwa mewujudkan ketenteraman tak sekedar impian. Tapi ia menjadi sebuah
cita-cita yang diupayakan. Dan itulah tuntutan atas ikrar yang kita ucapkan dalam
Ijab-Qobul pernikahan. Rumah tangga yang terbangun berawal dari janji
pernikahan yang terucap lewat Ijab-Qobul. Seterusnya adalah pembuktian atas
kata-kata itu. Mengupayakan ketenteraman berarti melakukan ikhtiar terus
menerus tiada henti. Maka, jika belum ada ketenteraman dalam rumah tangga kita,
teruslah mengupayakannya. Jika kita tidak mau, artinya kita telah berhenti pada
satu kata, satu ikrar, satu janji yang tidak terbukti. Jika itu yang terjadi,
alangkah ruginya diri kita.
Kesediaan Untuk Berjuang Bersama
Ketika
ikrar pernikahan telah terucap, artinya kita telah mengikrarkan diri untuk
berjuang bersama. Berjuang dalam arti berkarya, menghasilkan prestasi dalam
kehidupan rumah tangga yang kita bangun bersama. Memang seharusnya rumah tangga
yang dirancang sepenuhnya untuk membangun sebuah peradaban mulia. Terlalu sederhana, ketika ia hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik duniawi semata, tanpa tujuan mulia
di dalamnya. Jika itu yang terjadi, bisa jadi rumah tangga hanya akan dipenuhi
oleh masalah-masalah kecil yang menyita banyak energi dalam perjalanannya.
Pertengkaran dalam keluarga contohnya. Kita hanya disibukkan oleh urusan-urusan
kecil tersebut, sebab kita tidak punya agenda besar dalam hidup. Atau kita
punya, tetapi tidak serius mewujudkannya.
Rumus
sederhananya jika energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka
perhatian kita hanya akan tercurah pada masalah-masalah kecil. Berbeda jika
kita telah mencanangkan sebuah agenda besar sejak awal pernikahan, maka kita
tidak akan membiarkan energi itu terkuras oleh perkara-perkara kecil, kecuali
sekedar perlepasan energi yang wajar. Kita berikrar untuk berjuang bersama.
Biarlah masalah kecil muncul, kemudian ada dan lewat begitu saja tanpa bekas
tersisa yang mengganggu jiwa. Fokus kita akan sebuah tujuan membangun peradaban
yang mulia, telah memberikan toleransi yang teramat luas untuk membiarkan
masalah-masalah kecil itu berlalu begitu saja.
Janji
pernikahan itu adalah ikrar untuk beramal bersama dalam kebaikan, berjuang
bersama membangun peradaban. Ini adalah sebuah komitmen pernikahan. Ia bukanlah
janji manis nan romantis yang kosong dan rapuh tanpa ruh. Dengan demikian,
kesuksesan pernikahan diukur dari sejauh mana setiap anggota keluarga bisa
tumbuh dalam kebaikan, karena peradaban mulia itu terbangun dari
kumpulan-kumpulan individu dalam rumah tangga itu. Seperti sungai yang
mengalir pada muara besar. Keluarga kita adalah sungai-sungai itu dan muaranya
adalah masyarakat. Maka jadikanlah keluarga sebagai sungai-sungai kebaikan
yang mengalirkan nilai-nilai kesholihan menuju muara peradaban bernama
masyarakat.
Tujuan
ini harus dipahami oleh setiap anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena
keberhasilan mewujudkan misi pernikahan sebagai basis perjuangan guna membentuk
peradaban hanya akan tercapai jika setiap anggota keluarga memahami tentang
tujuan besar dan mulia ini. Memahami bahwa sejatinya kebersamaan dalam
pernikahan adalah sebuah ikrar untuk berjuang bersama.
Akhirnya menikah adalah sebuah keputusan
besar dalam hidup kita. Seperti semua keputusan lainnya, keputusan kita untuk
mengucapkan ikrar pernikahan adalah keputusannnya yang mengandung beban dan
resiko. Janji pernikahan yang kita ikrarkan adalah sebuah amanat, tugas dan
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Ia adalah ikrar yang kuat, perjanjian yang
berat.
Seorang
lelaki yang berani mengambil alih hal perwalian dari ayah perempuan yang
menjadi istrinya adalah laksana menandatangani sebuah aqad, sebuah kontrak,
sebuah janji. Ia sejatinya telah mengambilnya dengan amanah Allah SWT. Ada
komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanah itu memang
berat. Tapi begitulah sejatinya. Ketika keputusan besar telah kita ambil.
Sumber : Majalah Rindang, Maret 2013 hal 41-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar