Jumat, 13 September 2013

KEAGUNGAN PERNIKAHAN


Di dalam Al Qur’an, Allah SWT menyebut pernikahan sebagai Miitsaaqaan Ghakizha, artinya perjanjian yang kuat. “Bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa 4 : 21)
Hal ini sama dengan perjanjian Allah SWT dengan Nabi-nabi pilihannya. Senada pula dengan perjanjian antara Allah SWT dengan Bani Israil. Untuk ketiga kalinya istilah ini disebutkan Allah dalam Al Qur’an. Dengan demikian bisa dipahami, bahwa pernikahan sejatinya merupakan ikatan yang paling kuat yang memadukan dua insan. Pernikahan bukan ikatan main-main yang bisa disikapi dengan sekehendak hati kita sendiri. Bukan. Kalaupun di dalamnya ada kesenangan-kesenangan yang kita rasakan bersama, tidaklah bisa itu kemudian melalaikan kita akan sebuah amanah besar di sebaliknya.

Rasulullah SAW bersabda : ”Wahai manusia, sesungguhnya isteri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka adalah mereka (para isteri) tidak boleh mengijinkan orang yang tidak kalian senangi masuk rumah, kecuali dengan ijin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus isteri kalian. Aku wasiatkan kalian selalu berbuat baik.

Inilah pesan suci yang disampaikan Sang Nabi, ketika beliau melaksanakan ibadah suci Haji Wada. Inilah pesan suci yang merupakan bagian dari khutbah wada’ beliau  SAW. Di sinilah Rasulullah SAW mengingatkan tentang hak sebagai suami-istri. Bahwa ketika Ijab-Qobul pernikahan itu telah kita ikrarkan, maka ada yang harus dijaga dalam perjanjian kuat itu. Ada amanah berat dibalik perjanjian agung itu.Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik”, begitu kata terakhir Rasulullah SAW ketika menyampaikan wasiat tentang pernikahan. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan ikatan main-main belaka. Ada amanah besar atas janji yang kita ucapkan. Ada konskuensi berat atas sebuah keputusan besar yang telah kita ambil.

Rela Menerima Apa Adanya

Di dalam perjanjian pernikahan yang kita ikrarkan, sesungguhnya ada janji hati untuk rela menerima pasangan apa adanya.  Inilah yang kelak akan sangat menentukan bagaimana kisah pernikahan kita selanjutnya. Rela di sini dalam makna menerima segala apapun keadaan pendamping kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ini adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Karena di sinilah pribadi kita dipertaruhkan. Ketika kita menerima dia sebagai pendamping hidup kita, artinya kita memutuskan untuk tidak menyesal atas keputusan yang telah kita ambil.

Memutuskan untuk menerimanya menjadi bagian dari hidup dan kehidupan kita. Memutuskan  untuk mau memperhatikan dirinya, merawatnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Melindunginya dari segala sesuatu yang dapat merusak dirinya. Ini bukan persoalan kecil. Integritas pribadi kita dipertaruhkan. Sekali janji itu tak terbukti, maka kepercayaan kepada pasangan kita akan hilang. Adakah pernikahan yang dibangun tanpa adanya kepercayaan? Bila ada pernikahan yang berakhir dengan perceraian, maka  itulah jawabannya.

Harus disadari bahwa pernikahan tak selamanya berjalan linier. Pun tak selamanya ia akan naik dan turun. Demikian juga dengan sikap rela menerima pasangan apa adanya. Inipun tak selamanya dalam kondisi kondusif secara emosional. Akan ada ujian. Ada saat dimana kesetiaan kita akan diuji. Ada waktu dimana janji itu dipertaruhkan. Tapi disitulah tantangannya. Di sinilah seninya. Saat dimana membuktikan ketulusan ditengah situasi yang sulit. Maka siapa yang bisa membuktikan konsistensinya di tengah situasi yang sulit, ia akan lebih bisa membuktikan di saat-saat yang longgar.

Dalam pernikahan yang dibangun atas sikap rela menerima pasangan apa adanya, akan ditemukan kebahagiaan dan kepuasan. Bahagia-sebahagianya dan kepuasan sepuas-puasnya. Tak ada ruang untuk mencari kebahagiaan ditempat lain, karena ia telah temukan kebahagiaan itu di sini. Tak ada sisi untuk mencari kepuasan dengan orang lain, karena bersama pasangan ia telah menemukan semuanya. Maka jangan bertanya tentang logika di sini. Karena ia tak akan mampu  lagi untuk mencerna. Ya. Bagaimana seorang Laila yang masih belia ketika itu, mau menikah dengan seorang Utsman yang telah berusian 80-an tahun?

Usia yang menurut kita sudah cukup renta. Tapi itu adalah keputusannya. Dan dari keputusannnya pula ia telah dapatkan semuanya. Buktinya, ia telah memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah Ustman terbunuh. Bahkan ia merusak wajahnya dan menolak setiap lamaran yang datang kepadanya. Dengan rela ia telah dapatkan semuanya.

Sikap Yang Menentramkan

Dalam perjanjian pernikahan, tersirat sebuah sikap yang menenteramkan. Ijab-Qobul yang terucap, bukan sekedar kata tanpa rasa. Ia adalah ucapan yang menenteramkan. Sebagaimana kata Jalaludin Ar Rumi, bahwa pada suatu hari akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar. Nah, jika kita telah mewujudkan kata-kata itu dalam kehidupan rumah tangga kita, maka jadilah pendamping hidup yang sanggup  memberikan rasa tenteram terhadap pasangan kita, dimanapun dan di saat apapun berada. Pendamping kita harus merasa tenteram, saat bersama kita. Meskipun dalam banyak situasi kita harus rela berkorban apa saja untuk mewujudkannya. Pengorbanan dalam pernikahan ibarat pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Hanyalah dalam rumah yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan ketenteraman, para penghuninya  akan menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertambah menjadi pribadi yang mulia. Rumah seperti itu laksana surga bagi penghuninya. Rumah tangganya pasti utuh, abadi dan langgeng. Hanya maut yang memisahkan mereka. 

Itulah yang kita sebut dengan kekuatan janji pernikahan. Sekali lagi ia bukan sekedar kata tanpa rasa. Jika hanya demikian yang terjadi, maka dimana nilai ‘ sakral’ atas ucapan kata-kata itu.  Bukankah salah satu ciri orang munafik adalah ketika kata tak sejalan dengan perbuatannya? Kita paham bahwa mewujudkan ketenteraman tak sekedar impian. Tapi ia menjadi sebuah cita-cita yang diupayakan. Dan itulah tuntutan atas ikrar yang kita ucapkan dalam Ijab-Qobul pernikahan. Rumah tangga yang terbangun berawal dari janji pernikahan yang terucap lewat Ijab-Qobul. Seterusnya adalah pembuktian atas kata-kata itu. Mengupayakan ketenteraman berarti melakukan ikhtiar terus menerus tiada henti. Maka, jika belum ada ketenteraman dalam rumah tangga kita, teruslah mengupayakannya. Jika kita tidak mau, artinya kita telah berhenti pada satu kata, satu ikrar, satu janji yang tidak terbukti. Jika itu yang terjadi, alangkah ruginya diri kita.

Kesediaan Untuk Berjuang Bersama

Ketika ikrar pernikahan telah terucap, artinya kita telah mengikrarkan diri untuk berjuang bersama. Berjuang dalam arti berkarya, menghasilkan prestasi dalam kehidupan rumah tangga yang kita bangun bersama. Memang seharusnya rumah tangga yang dirancang sepenuhnya untuk membangun sebuah peradaban mulia. Terlalu sederhana, ketika  ia hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik duniawi semata, tanpa tujuan  mulia di dalamnya. Jika itu yang terjadi, bisa jadi rumah tangga hanya akan dipenuhi oleh masalah-masalah kecil yang menyita banyak energi dalam perjalanannya. Pertengkaran dalam keluarga contohnya. Kita hanya disibukkan oleh urusan-urusan kecil tersebut, sebab kita tidak punya agenda besar dalam hidup. Atau kita punya, tetapi tidak serius mewujudkannya.

Rumus sederhananya jika energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita hanya akan tercurah pada masalah-masalah kecil. Berbeda jika kita telah mencanangkan sebuah agenda besar sejak awal pernikahan, maka kita tidak akan membiarkan energi itu terkuras oleh perkara-perkara kecil, kecuali sekedar perlepasan energi yang wajar. Kita berikrar untuk berjuang bersama. Biarlah masalah kecil muncul, kemudian ada dan lewat begitu saja tanpa bekas tersisa yang mengganggu jiwa. Fokus kita akan sebuah tujuan membangun peradaban yang mulia, telah memberikan toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil itu berlalu begitu saja.

Janji pernikahan itu adalah ikrar untuk beramal bersama dalam kebaikan, berjuang bersama membangun peradaban. Ini adalah sebuah komitmen pernikahan. Ia bukanlah janji manis nan romantis yang kosong dan rapuh tanpa ruh. Dengan demikian, kesuksesan pernikahan diukur dari sejauh mana setiap anggota keluarga bisa tumbuh dalam kebaikan, karena peradaban mulia itu terbangun dari kumpulan-kumpulan individu dalam rumah tangga itu. Seperti sungai yang mengalir pada muara besar. Keluarga kita adalah sungai-sungai itu dan muaranya adalah masyarakat. Maka jadikanlah keluarga sebagai sungai-sungai kebaikan yang mengalirkan nilai-nilai kesholihan menuju muara peradaban bernama masyarakat.

Tujuan ini harus dipahami oleh setiap anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena keberhasilan mewujudkan misi pernikahan sebagai basis perjuangan guna membentuk peradaban hanya akan tercapai jika setiap anggota keluarga memahami tentang tujuan besar dan mulia ini. Memahami bahwa sejatinya kebersamaan dalam pernikahan adalah sebuah ikrar untuk berjuang bersama.

Akhirnya menikah adalah sebuah keputusan besar dalam hidup kita. Seperti semua keputusan lainnya, keputusan kita untuk mengucapkan ikrar pernikahan adalah keputusannnya yang mengandung beban dan resiko. Janji pernikahan yang kita ikrarkan adalah sebuah amanat, tugas dan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Ia adalah ikrar yang kuat, perjanjian yang berat.

Seorang lelaki yang berani mengambil alih hal perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya adalah laksana menandatangani sebuah aqad, sebuah kontrak, sebuah janji. Ia sejatinya telah mengambilnya dengan amanah Allah SWT. Ada komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanah itu memang berat. Tapi begitulah sejatinya. Ketika keputusan besar telah kita ambil. 

Penulis : Penyuluh Agama Islam Fungsional Kantor Kementrian Agama Kabupaten Klaten
Sumber :  Majalah Rindang, Maret 2013 hal 41-43




Tidak ada komentar:

Posting Komentar