Aku mempunyai
seorang adik laki-laki yang sudah besar. Namanya Sri Yono. Ia pernah sekolah
dan lulus SD. Tetapi sebenarnya ia tidak bisa membaca atau menulis dengan
benar. Sebelumnya ia sering tidak naik kelas. Sehingga ia menjadi anak yang
paling besar di kelasnya. Mungkin karena gurunya merasa kasihan, ia naik kelas
dan lulus. Meski adikku tidak bisa membaca, tetapi ia memiliki ijazah SD. Di
sana tertera angka yang banyak merahnya.
Ketika bapakku
ingin menyekolahkan adikku ke SMP, aku melarangnya. Karena aku tahu sekolah di
SMP sangat berat untuk adikku yang tidak bisa membaca. Seseorang harus bisa
menulis, bisa membaca dengan baik dan benar agar bisa sekolah yang lebih
tinggi. Itu adalah kemampuan dasar bagi seseorang dan sangat diperlukan
agar seseorang bisa belajar mandiri. Bertahun-tahun adikku merasa sangat
tertekan. Ia merasa sendirian dan tidak punya kawan. Kawan yang dulu bersamanya
telah pergi jauh untuk impian yang lebih tinggi. Demikan juga denganku dan
saudaraku yang lain. Kami terlalu sibuk dengan impian kami masing-masing.
Hingga akhirnya adikku sering bicara sendirian hingga sekarang.
Aku tidak tahu
mengapa hal itu bisa terjadi padanya. Tetapi aku menduga, itu karena kesalahan
keluarga kami dan juga lingkungan sekitar. Kami semua menuntutnya terlalu
tinggi, agar ia seperti orang-orang pada umumnya. Atau sepertiku yang bisa
sekolah tinggi dan lulus kuliah. Banyak orang yang menghina dan mencemoohnya
dalam kehidupan sehari-hari. Saat itu aku belum tahu dan tidak tahu tentang apa
yang seharusnya dilakukan. Berjalannya waktu perlakuan kami memperparah keadaan
adikku.
Air
Beberapa
tahun terakhir adikku punya kebiasaan yang tidak wajar. Ia sering pergi ke
sumur menimba air dan membasuh kedua telapak tangannya dengan air. Sedikit air
saja, sekedar untuk membasahi. Dalam sehari, kadang bisa terjadi puluhan kali.
Kebiasaan
adikku ini sering membuat ibu bapakku marah kepadanya. Aku tidak ingin hal itu
terjadi, tetapi dalam kenyataan sering terjadi. Lalu aku mencoba mencari tahu
apa masalah yang terjadi pada adikku. Suatu waktu aku memegang tangan adikku
dan melihat kedua telapak tangannya. Ternyata telapak tangan adikku sangat
kasar dan kaku. Telapak tangannya tidak seperti telapak tanganku atau ibu
bapakku. Telapak tangan adikku sangat berbeda.
Dari
itu aku tahu, mengapa ia sering membasahi telapak tangannya dengan air. Air
yang membasahi telapak tangannya itu telah membuat ia nyaman. Pernah suatu
ketika aku memberinya minyak pelembut kulit, tetapi baru sebentar saja adikku
membasahi tangannya. Minyak itu hilang dan gagasanku tidak lagi bisa digunakan.
Aku menyerah untuk perbaikan telapak tangan adikku.
Lalu
aku memberitahukan tentang hal itu kepada ibu bapakku. Kita tidak perlu mempermasalahkan
kebiasaan adikku lagi. Kebiasaan adikku bukanlah hal yang membahayakan. Tidak
juga merugikan. Di rumah kami banyak tersedia air. Kami mempunyai dua sumur.
Dan Alhamdulillah, selama ini keduanya tidak pernah kering. Kami seharusnya banyak
bersyukur kepada Tuhan untuk hal ini.
Sejak
saat itu ibu bapakku tidak pernah marah lagi karena kebiasaan adikku--- Air.
Kursi
Adikku
juga mempunyai kebiasaan lain yang tidak wajar. Ketika ia akan duduk di kursi,
ia selalu memeriksa kursi itu lebih dahulu. Jika hanya sekali itu tidak
masalah, tetapi ia lakukan berulang kali. Kadang ia menggoyangkan kursi itu dan
mengamatinya dengan seksama. Adikku terlalu kawatir kalau kursi yang akan
didudukinya ada kotoran cicak atau yang lainnya. Jika ia yakin bahwa
kursi itu bersih, ia baru duduk. Setelah duduk kadang ia berdiri dan mengamati
kursi itu lagi. Jika ia yakin kursi itu bersih, ia duduk kembali. Jika masih
ragu, ia mengambil sapu kecil untuk membersihkan kursi itu. Setelah itu ia baru
duduk. Dimanapun ia duduk selalu seperti itu. Saat akan makan ataupun nonton
televisi.
Karena
kebiasaan adikku ini sering membuat ibu bapakku marah. Kadang aku juga marah,
namun hanya sesekali. Kami sering menasehati adikku, kalau mau duduk langsung
saja, tidak perlu diteliti berulang kali. Meski kami telah meyakinkan bahwa
semua kursi di rumah kami terbebas dari kotoran, tetapi adikku tidak mengubah
kebiasaan. Dalam hal ini aku gagal meyakinkan adikku.
Aku
tidak ingin ibu bapakku marah lagi karena persoalan kecil---kursi. Lalu aku
berpikir tentang solusi. Aku meminta ibu bapakku agar membiarkan kebiasaan
adikku. Aku beralasan bahwa kebiasaan adikku itu sebenarnya bagus. Adikku
sangat berhati-hati ketika akan menduduki sebuah kursi. Mungkin ia trauma pada
masa lalu, ketika duduk di kursi celananya ada kotoran.
Setelah
aku berpikir lagi, sebenarnya kebiasaan adikku ini tidak salah. Dalam
kehidupan, tanpa sadar aku juga sering melakukannya. Terutama ketika aku akan
melakukan pekerjaan tertentu yang menuntut ketelitian. Aku biasanya meneliti
ulang hasil pekerjaanku. Aku tidak ingin ada kesalahan, meski hanya sedikit.
Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Meski aku tahu
sebenarnya hanya masalah kecil, tetapi sangat mengganggu pikiran. Aku tidak
bisa menipu pikiranku, saat itu aku tahu bahwa dalam pekerjaanku ada kesalahan.
Akhirnya aku harus memperbaiki pekerjaan itu lagi.
Dalam
hal tertentu aku juga sangat berhati-hati saat membuat keputusan. Karena aku
tidak tahu mana yang terbaik dari sebuah keputusan. Meski kita tahu sisi
positif sebuah keputusan, tetapi ada sesuatu yang kita tidak tahu
di balik sebuah keputusan. Dalam pekerjaan tertentu aku sangat hati-hati,
tetapi dalam pekerjaan yang lain aku tidak hati-hati. Dalam hal tertentu aku
menganggap sesuatu itu penting, tetapi dalam hal lain aku mengganggap sesuatu
itu tidak penting.
Ternyata
aku, dan adikku sengaja atau tidak melakukan kebiasaan yang sama. Aku
menyadarinya, sebenarnya aku tidak harus melakukan hal seperti itu. Terlalu teliti dan terlalu
hati-hati. Sehingga kadang kelamaan berbuat sesuatu atau mengambil keputusan. Tetapi memang sulit untuk menentukan
batas-batas dimana kebiasaan (hati-hati) itu bisa kita lakukan.
Aku
mengamati banyak orang ternyata juga lakukan hal yang sama. Hanya masalahnya atau konteknya saja yang berbeda. Misalnya dalam berbelanja makanan atau pakaian. Ada orang yang sangat berhati-hati, hingga terlalu lama untuk membuat keputusan untuk membeli atau tidak. Dalam hal tertentu
seseorang sangat hati-hati, tetapi dalam hal lainnya mereka tidak hati-hati.
Penjelasanku ini bisa diterima oleh ibu bapakku. Sejak
saat itu mereka tidak marah lagi karena kebiasaan adikku---karena kursi.