Minggu, 06 September 2015

ADIKKU--- SRIYONO



Aku mempunyai seorang adik laki-laki yang sudah besar. Namanya Sri Yono. Ia pernah sekolah dan lulus SD. Tetapi sebenarnya ia tidak bisa membaca atau menulis dengan benar. Sebelumnya ia sering tidak naik kelas. Sehingga ia menjadi anak yang paling besar di kelasnya. Mungkin karena gurunya merasa kasihan, ia naik kelas dan lulus. Meski adikku tidak bisa membaca, tetapi ia memiliki ijazah SD. Di sana tertera angka yang banyak merahnya.

Ketika bapakku ingin menyekolahkan adikku ke SMP, aku melarangnya. Karena aku tahu sekolah di SMP sangat berat untuk adikku yang tidak bisa membaca. Seseorang harus bisa menulis, bisa  membaca dengan baik dan benar agar bisa sekolah yang lebih tinggi. Itu adalah kemampuan dasar bagi seseorang  dan sangat diperlukan agar seseorang bisa belajar mandiri. Bertahun-tahun adikku merasa sangat tertekan. Ia merasa sendirian dan tidak punya kawan. Kawan yang dulu bersamanya telah pergi jauh untuk impian yang lebih tinggi. Demikan juga denganku dan saudaraku yang lain. Kami terlalu sibuk dengan impian kami masing-masing. Hingga akhirnya adikku sering bicara sendirian hingga sekarang.

Aku tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi padanya. Tetapi aku menduga, itu karena kesalahan keluarga kami dan juga lingkungan sekitar. Kami semua menuntutnya terlalu tinggi, agar ia seperti orang-orang pada umumnya. Atau sepertiku yang bisa sekolah tinggi dan lulus kuliah. Banyak orang yang menghina dan mencemoohnya dalam kehidupan sehari-hari. Saat itu aku belum tahu dan tidak tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan. Berjalannya waktu perlakuan kami memperparah keadaan adikku.

Air 

Beberapa tahun terakhir adikku punya kebiasaan yang tidak wajar. Ia sering pergi ke sumur menimba air dan membasuh kedua telapak tangannya dengan air. Sedikit air saja, sekedar untuk membasahi. Dalam sehari, kadang bisa terjadi puluhan kali. 

Kebiasaan adikku ini sering membuat ibu bapakku marah kepadanya. Aku tidak ingin hal itu terjadi, tetapi dalam kenyataan sering terjadi. Lalu aku mencoba mencari tahu apa masalah yang terjadi pada adikku. Suatu waktu aku memegang tangan adikku dan melihat kedua telapak tangannya. Ternyata telapak tangan adikku sangat kasar dan kaku. Telapak tangannya tidak seperti telapak tanganku atau ibu bapakku. Telapak tangan adikku sangat berbeda.

Dari itu aku tahu, mengapa ia sering membasahi telapak tangannya dengan air. Air yang membasahi telapak tangannya itu telah membuat ia nyaman. Pernah suatu ketika aku memberinya minyak pelembut kulit, tetapi baru sebentar saja adikku membasahi tangannya. Minyak itu hilang dan gagasanku tidak lagi bisa digunakan. Aku menyerah untuk perbaikan telapak tangan adikku. 

Lalu aku memberitahukan tentang hal itu kepada ibu bapakku. Kita tidak perlu mempermasalahkan kebiasaan adikku lagi. Kebiasaan adikku bukanlah hal yang membahayakan. Tidak juga merugikan. Di rumah kami banyak tersedia air. Kami mempunyai dua sumur. Dan Alhamdulillah, selama ini keduanya tidak pernah kering. Kami seharusnya banyak bersyukur kepada Tuhan untuk hal ini.

Sejak saat itu ibu bapakku tidak pernah marah lagi karena kebiasaan adikku--- Air.

Kursi

Adikku juga mempunyai kebiasaan lain yang tidak wajar. Ketika ia akan duduk di kursi, ia selalu memeriksa kursi itu lebih dahulu. Jika hanya sekali itu tidak masalah, tetapi ia lakukan berulang kali. Kadang ia menggoyangkan kursi itu dan mengamatinya dengan seksama. Adikku terlalu kawatir kalau kursi yang akan didudukinya ada kotoran cicak atau yang  lainnya. Jika ia yakin bahwa kursi itu bersih, ia baru duduk. Setelah duduk kadang ia berdiri dan mengamati kursi itu lagi. Jika ia yakin kursi itu bersih, ia duduk kembali. Jika masih ragu, ia mengambil sapu kecil untuk membersihkan kursi itu. Setelah itu ia baru duduk. Dimanapun ia duduk selalu seperti itu. Saat akan makan ataupun nonton televisi. 

Karena kebiasaan adikku ini sering membuat ibu bapakku marah. Kadang aku juga marah, namun hanya sesekali. Kami sering menasehati adikku, kalau mau duduk langsung saja, tidak perlu diteliti berulang kali. Meski kami telah meyakinkan bahwa semua kursi di rumah kami terbebas dari kotoran, tetapi adikku tidak mengubah kebiasaan. Dalam hal ini aku gagal meyakinkan adikku.

Aku tidak ingin ibu bapakku marah lagi karena persoalan kecil---kursi. Lalu aku berpikir tentang solusi. Aku meminta ibu bapakku agar membiarkan kebiasaan adikku. Aku beralasan  bahwa kebiasaan adikku itu sebenarnya bagus. Adikku sangat berhati-hati ketika akan menduduki sebuah kursi. Mungkin ia trauma pada masa lalu, ketika duduk di kursi celananya ada kotoran.

Setelah aku berpikir lagi, sebenarnya kebiasaan adikku ini tidak salah. Dalam kehidupan, tanpa sadar aku juga sering melakukannya. Terutama ketika aku akan melakukan pekerjaan tertentu yang menuntut ketelitian. Aku biasanya meneliti ulang hasil pekerjaanku. Aku tidak ingin ada kesalahan, meski hanya sedikit. Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Meski aku tahu sebenarnya hanya masalah kecil, tetapi sangat mengganggu pikiran. Aku tidak bisa menipu pikiranku, saat itu aku tahu bahwa dalam pekerjaanku ada kesalahan. Akhirnya aku harus memperbaiki pekerjaan itu lagi.

Dalam hal tertentu aku juga sangat berhati-hati saat membuat keputusan. Karena aku tidak tahu mana yang terbaik dari sebuah keputusan. Meski kita tahu sisi positif sebuah keputusan, tetapi ada sesuatu yang kita tidak tahu di balik sebuah keputusan. Dalam pekerjaan tertentu aku sangat hati-hati, tetapi dalam pekerjaan yang lain aku tidak hati-hati. Dalam hal tertentu aku menganggap sesuatu itu penting, tetapi dalam hal lain aku mengganggap sesuatu itu tidak penting. 

Ternyata aku, dan adikku sengaja atau tidak melakukan kebiasaan yang sama. Aku menyadarinya, sebenarnya aku tidak harus melakukan hal seperti itu. Terlalu teliti dan  terlalu hati-hati. Sehingga kadang kelamaan berbuat sesuatu atau mengambil keputusan. Tetapi memang sulit untuk menentukan batas-batas dimana kebiasaan (hati-hati) itu bisa kita lakukan.

Aku mengamati banyak orang ternyata juga lakukan hal yang sama. Hanya masalahnya atau konteknya saja yang berbeda. Misalnya dalam berbelanja makanan atau pakaian. Ada orang yang sangat berhati-hati, hingga terlalu lama untuk membuat keputusan untuk membeli atau tidak. Dalam hal tertentu seseorang sangat hati-hati, tetapi dalam hal lainnya mereka tidak hati-hati. 

Penjelasanku ini bisa diterima oleh ibu bapakku. Sejak saat itu  mereka tidak marah lagi karena kebiasaan adikku---karena kursi.