Senin, 25 April 2016

KENAPA KITA HARUS MEMULIAKAN ANAK YATIM?



Suatu ketika temanku Akhmad Karnandi bertanya kepadaku, “Kenapa dalam Islam, kita harus memuliakan anak yatim?” Saat itu aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Mengenai --memuliakan anak yatim--, itu bukan masalah lagi bagiku. Aku tidak akan lagi bertanya: “Kenapa?” Sebagai seorang muslim, panutan kita adalah Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan kita untuk memuliakan anak yatim, maka kita harus berusaha mentaatinya. Seperti yang sering kita dengar ketika kita akan shalat; ‘Kami mendengar dan kami taat.’

Tetapi setelah peristiwa itu, di malam hari, pikiranku tidak mau berhenti. Aku terus gelisah dan mencari beberapa alasan yang dulu pernah kutemukan. Yaitu jawaban tentang: Mengapa dalam Islam, kita harus memuliakan anak yatim? 

Akhirnya aku menemukan lagi tiga alasan, dan inilah di antaranya:
  1. Dalam beragama itu adalah masalah kepercayaan dan keyakinan. Apapun yang diperintahkan dalam agama, kita harus mempercayainya. Kita harus meyakininya dan kita harus mematuhinya. Kita berusaha menjalani apa yang diperintahkan dalam agama. Dan kita berusaha menjauhi apa larangan yang ada di dalamnya. Kami mendengar maka kami taat. Begitulah. Kita tidak terlalu banyak berpikir dan bertanya: ‘Kenapa saya harus lakukan ini?’ dan ‘Kenapa saya harus lakukan itu?’ Kita tidak bertanya lagi: ‘Kenapa kita tidak boleh begini?’ dan ‘Kenapa kita tidak boleh begitu?’ 
  2. Rasulullah SAW terlahir sebagai anak yatim. Beliau sangat tahu bagaimana penderitaan sebagai seorang anak yatim. Karena itu sebagai pengikutnya, kita diperintahkan untuk memuliakan anak yatim. Anak yatim adalah anak yang sangat membutuhkan kasih sayang dari orang lain.
  3. Dalam suatu keluarga secara umum ayahlah sebagai tulang punggung keluarga. Ayah bekerja di luar dan mendapatkan imbalan uang. Sedangkan ibu mengurus pekerjaan di rumah, tetapi tidak mendapatkan uang. Ketika seorang ayah meninggal, maka otomatis keluarga itu menjadi miskin. Keluarga itu tidak lagi mendapatkan uang atau penghasilan. Jadi anak yatim adalah anak yang paling lemah dan paling miskin (menderita).
Di esok hari, kukatakan tentang ketiga hal ini kepada temanku. Lalu temanku bercerita tentang tetangganya di Palembang yang peduli dengan anak yatim. Tetangganya itu seorang PNS. Di rumahnya tinggal beberapa anak yatim yang masih kerabatnya sendiri. Ia menanggung semua kebutuhan sehari-hari anak yatim itu dan juga menyekolahkannya. Sekarang anak-anak itu sudah tumbuh dewasa. Mereka telah bekerja mandiri dan juga berkeluarga. 

Rupanya temanku telah menemukan jawaban atas masalahnya yang ditanyakannya kepadaku tanpa sengaja. Mengapa kita harus memuliakan anak yatim? Temanku berkata: “Jika tidak ada orang yang peduli (mengasihi), anak yatim itu akan menjadi nakal. Kelak anak itu dewasa lalu menjadi penjahat. Menjadi perampok atau pencuri.”

Menurutku perkataan temanku itu ada benarnya. Anak-anak sangat memerlukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Apalagi anak-anak yatim, mereka juga memerlukan seorang  panutan sebagai pengganti figur ayahnya. Perkataan temanku itu menjadi jawaban yang ke-4 dari pertanyaan: “Mengapa dalam Islam, kita harus memuliakan anak yatim?”

Minggu, 24 April 2016

MANFAAT ILMU - BERBAGI PENGALAMAN





Waktu aku tinggal di desa kalo mau bermain internet harus di warnet. Aku pernah berjalan kaki sekitar 1 km dari rumah ke warnet. Suatu saat ketika melintasi jalan desa tetangga yang biasa aku lewati, aku mendapat inspirasi. 

Saat itu aku melihat penduduk desa tetangga sedang membuat jalan agar menjadi lebih bagus. Jalan akan dibeton. Lalu aku berpikir, "Jika jalan yang dibeton (aspal) hanya di desaku, sedangkan jalan-jalan di desa tetangga tidak dibeton (aspal). Ketika aku naik motor atau naik mobil bagus sekalipun sama juga. Aku akan mengalami kesulitan dalam perjalanan. Naik motor atau mobil bagus yang seharusnya nyaman, menjadi tidak nyaman lagi. Bahkan mungkin mobil yang kutumpangi akan terantuk batu atau terperosok di jalan." 

Begitu juga ilmu pengetahuan, hadist dan Al Qur'an. Jika hanya aku sendiri yang tahu seolah tidak ada gunanya. Aku lalu memberitahu orang lain di sekitarku. Aku memberitahu bapak, ibuku, saudaraku, temanku dan juga para tetanggaku. Aku melakukan hal itu sekitar 2 tahun yang lalu. 

Aku menganggap hal itu sebagai amal jariahku kepada orang tua, keluarga dan juga tetangga. Ilmu itu mahal harganya. Ilmu itu sulit ditemukan. Ilmu itu tidak terlihat dan tidak menarik bagi orang awam. Karena itu banyak orang enggan untuk mencari dan akhirnya tidak tahu. Tetapi orang yang berilmu (tahu) itu lebih baik daripada orang yang tidak berilmu (tidak tahu). 

Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Dari Sahl bin Sa’id, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Ali, “Demi Allah, lebih baik bagimu jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat dirimu, daripada keledai yang paling bagus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

ARTIKEL LAIN: 
 
IBUKU-CERITA DARI DESA 
IBUKU BERHARAP BERAS ITU MAHAL
IBU-JANGAN MARAH LAGI
PAK-JANGAN MENGELUH LAGI
UMROH-BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
KISAH CINTA ALI DAN FATIMAH  
WAHAI FATIMAH
KELUARGA NABI ISMAIL AS

Sabtu, 23 April 2016

MENGALAH UNTUK KEBAIKAN BERSAMA




Saya mempunyai keponakan yang masih belum dewasa. Namanya Naazhim (SMP Kelas 7) dan Izzah (SD Kelas 3). Mereka kakak-adik. Mereka tinggal di rumah yang jauh dari kami, tetapi masih dalam satu Kabupaten (Klaten). Jarak antara rumah kami sekitar 20 Km. Karena faktor jarak yang jauh dan kesibukan bekerja orang tuanya, kami  jarang bertemu. Dalam setahun kami bertemu tidak lebih dari 3 kali. Awalnya itu masalah bagi saya. Sebagai sebuah keluarga, seolah kami kurang dekat.
Namun akhirnya saya bisa memahami. Ini adalah hal yang biasa. Ini adalah realitas yang ada dalam dunia nyata. Ada banyak orang yang mengalami masalah yang sama. Pertemuan yang sedikit karena suatu keadaan. Sebuah resiko yang harus manusia terima karena pilihan tempat tinggal, impian dan pekerjaan. Sehingga ketika kita berharap sesuatu berjalan seperti pada umumnya. Tetapi dalam kenyataan tidak sesuai harapan. Dalam hal ini pertemuan yang sedikit dengan keluarga dan kerabat.
Suatu saat Lebaran di tahun 2014, keponakan kami dan orang tuanya (yang saudara tua saya) berkunjung ke rumah. Saat itu saya  dan kedua orang tua saya sangat senang. Saya bermain ke sana kemari bersama keponakan saya Izzah hingga beberapa jam. Sedangkan Naazhim seorang yang pendiam, ia lebih suka bermain bola di rumah atau nonton televisi di rumah depan. Saya meninggalkan Naazhim untuk bermain sendirian. Saya anggap ia sudah cukup besar untuk mandiri (belajar bermain sendiri).
Saat saya mulai kelelahan, saya berniat ingin istirahat sebentar di rumah bagian belakang. Saya meninggalkan mereka di rumah bagian depan. Tetapi baru sebentar saya tinggalkan, saya mendengar teriakan. Keponakan saya Naazhim dan Izzah sedang bertengkar. Mereka memperebutkan minuman manis dalam gelas plastik. Saya tidak tahu merk minuman tersebut, tetapi yang saya tahu harganya tidak lebih dari Rp 500,-.
Pertengkaran mereka membuat saya kawatir dan sedih. Demikian juga ibu saya yang kebetulan sedang di rumah. Jika ada orang tuanya mungkin itu bukan urusan saya. Orang tuanya pasti bisa mengatasi. Tetapi saat itu orang tuanya baru berkunjung ke tetangga sebelah. Jadi saya dan ibu saya punya tanggung jawab untuk mengatasi masalah mereka. Sesaat saya merasa bimbang tentang apa yang yang harus saya lakukan. Jika saya harus memisahkan, siapa yang harus saya pegang? Jika saya harus menasehati, siapa yang harus saya nasehati?
Saya tidak boleh memihak, keduanya adalah keponakan saya yang saya sayangi. Tiba-tiba muncul suatu gagasan di benak saya. Saya memegang Izzah dan memintanya untuk mengalah dan memberikan minuman itu pada kakaknya Naazhim. Saat itu saya tidak punya pilihan lain, mengapa saya memilih Izzah dan bukannya Naazhim. Padahal usia Izzah lebih muda daripada Naazhim. Memang beberapa tahun terakhir saya merasa sedikit lebih dekat dengan Izzah daripada Naazhim. Tiap kali bertemu saya dan Izzah lebih sering bermain bersama. Saya membuat keputusan demikian dengan harapan saya lebih mudah untuk memberikan nasehat dan penyelesaian atas masalah.
Akhirnya Izzah menuruti permintaan saya. Tetapi setelah itu Izzah menangis dengan keras. Ia berlari ke rumah belakang dan bersembunyi. Saya tahu ia sangat kecewa dan sedih. Dan saya merasa lebih sedih lagi. Sesaat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya bisa bermain dengan siapapun anak kecil dengan mudah. Tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika mereka sedih atau menangis.
Saya belum punya anak atau bahkan istri. Jadi saat itulah adalah ujian yang berat bagi saya. Saya meminta ibu saya untuk mengatasi masalah ini. Ibu saya mendekati Izzah dan membujuknya dengan perkataan-perkataan. Lalu Ibu saya memberikan uang Rp 2000,- sebagai pengganti minuman. Sejak itu Izzah bisa diam dan ia mulai tersenyum. Saya sangat lega dan juga senang, akhirnya masalah kami teratasi.
Peristiwa pertengkaran kedua keponakan saya itu terus mengiang dalam pikiran. Bahkan sampai beberapa hari. Dan itu sebagai pelajaran bagi saya dalam kehidupan ini. Dalam kehidupan masyarakat, saya sering melihat pertengkaran ataupun perdebatan. Lalu seseorang marah-marah hanya karena urusan itu. Yang menjadi aneh adalah sumber masalahnya hanya kecil sekali. Jika diuangkan kadang nilainya tidak lebih dari seribu rupiah. Dari masalah makanan di dapur; telor di dadar atau diceplok; makanan dibungkus plastik atau di dalam wadah piring; warna baju merah atau biru; daun kelapa/pisang yang sedikit dipangkas; kain lap usang yang dibakar atau masalah bepergian---jalan yang mana yang harus dilewati, utara atau selatan.
Tetapi masalah ini sering terjadi di dalam masyarakat; dimanapun dan siapapun. Pertengkaran antara teman di lingkungan sekolah, pertengkaran antar karyawan di tempat kerja ataupun pertengkaran antara saudara, anak, suami, istri di dalam rumah. Satu dan lainnya mengganggap bahwa pendapatnya atau kelompoknya adalah yang paling baik dan paling benar. Padahal kita tahu bahwa semua yang diperdebatkan itu hanyalah masalah metode, cara, sarana, jalan atau teknologi untuk mencapai sebuah tujuan.
Memang kadang kita berbeda pendapat, namun tidak semestinya kita terus bertengkar. Jika kita telah mengetahui esensi kebenaran, sebenarnya kita tidak perlu ada perdebatan lagi. Dan kita juga tidak perlu bertengkar lagi. Bukankan kita tahu bahwa apapun pilihan kita akan ada resikonya. Setiap pilihan ada pahit dan manisnya. Setiap pilihan ada baik dan buruknya. Setiap pilihan (kebijakan pemerintah) ada keuntungan dan kerugiannya.
Ada banyak cerita keburukan yang diawali kebaikan. Ada banyak cerita baik yang diawali dengan keburukan. Ada banyak cerita orang kaya yang diawali dari seorang yang miskin. Ada banyak juga cerita orang miskin yang diawali dari seorang yang kaya. Jadi masalah selanjutnya adalah : Siapa yang melakukan? Siapa yang menggunakan? Siapa yang punya kuasa? Siapa yang diberi kesempatan? Siapa yang membuat keputusan? Siapa pihak yang diuntungkan? Siapa pihak yang dirugikan? Jika kita sudah mengetahui tentang kebenaran, seharusnya tidak ada pertengkaran lagi di masa yang akan datang.
Apalagi untuk masalah yang kecil. Apakah tidak terbesit dalam diri kita? Apakah kita tidak rela? Jika kita sedikit mengalah untuk orang-orang yang kita sayangi ataupun orang-orang yang kita hormati. Mengalah untuk kebaikan bersama; untuk anak, istri, suami, saudara, teman atau tetangga kita. Dan tidak ada lagi kemarahan kepada orang-orang di dekat kita. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang kuat bergulat, namun yang  mampu menahan diri ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)