Waktu kita sangat
pendek. Anak-anak kita tak selamanya kecil. Ada saatnya mereka akan tumbuh
menjadi dewasa, mandiri, dan berkeluarga. Kalau mereka sudah menikah, tak ada
lagi kesempatan bagi kita untuk meniupkan balon, bermain petak umpet,
membacakan buku cerita, atau mewarnai bersama. Ya, anak-anak itu tak selamanya
kecil. Kalau Allah Ta’ala memberi mereka umur panjang, anak kita yang kemarin
merengek meminta perhatian kita itu sekarang mungkin sudah sibuk memenuhi
jadwal kegiatannya yang sangat padat. Anak-anak yang dulu menahan tangisnya
karena kita tak kunjung mau mendampingi mereka untuk menuturkan cerita, hari
ini mungkin kita yang harus belajar menahan diri karena sangat ingin mendengar
cerita tentang mereka dari lisan mereka sendiri.
Sungguh kehidupan kita dan anak-anak
kadang seperti pusaran nasib yang sedang dipergilirkan. Saat anak kita lahir,
mereka sepenuhnya tergantung kepada kita. Mereka benar-benar amat memerlukan
kehadiran kita, sentuhan tangan kita, dekapan ikhlas kita, serta kerelaan kita
untuk menatapnya penuh cinta. Inilah saat yang berharga untuk anak kita. Namun,
saat inilah yang justru sering kita abaikan karena boleh jadi kita tidak merasa
membutuhkan mereka. Semakin bertambahnya umur, semakin berkurang ketergantungan
mereka kepada kita. Mereka mungkin masih memerlukan kita, tetapi karena sudah
tidak terlalu tergantung, mereka bisa mengalihkannya kepada orang lain.
Saat
usianya memasuki remaja, posisi kita semakin lemah. Mereka lebih mendengar
temannya daripada orang tuanya sendiri. Kata-kata orang tua tak lagi berharga
kecuali jika kita sudah menabung kedekatan dan penghormatan sejak mereka masih
balita. Jika anak-anak itu tidak memiliki penghormatan sejak mereka masih
balita. Jika anak-anak itu tidak memiliki penghormatan yang tinggi kepada orang
tuanya, maka guratan teman jauh lebih mereka dengar daripada sapaan paling
tulus dari orang tua. Jika anak-anak itu tidak memiliki kepercayaan yang penuh
kepada orang tua, maka temannya lebih layak untuk diikuti daripada nasihat
paling serius dari orang tua.
Secara alamiah
anak-anak yang telah memasuki usia remaja memiliki kebutuhan eksistensi. Mereka
ingin didengar, diakui, dihargai dan dipercaya. Mereka ingin menunjukkan bahwa
dirinya memiliki kemampuan dan hak menentukan. Mereka akan berontak dari
orang tuanya, kecuali jika kita selaku orang tua telah menabung kredibilitas
atau kepercayaan terhadap itikad baik dan ketulusan di mata anak-anak kita.
Sesudah
berlalu masa remaja datanglah masa dewasa. Inilah masa ketika anak-anak yang
dulu merindukan bapaknya itu sudah benar-benar mandiri. Mereka tak lagi
memerlukan orang tua kecuali jika iman menancap kuat di hati mereka. Inilah
yang menjadi kekuatan dalam diri mereka untuk berkhidmat kepada orang tua.
Jadi, sebenarnya mereka berkhidmat bukan karena sangat besarnya kerinduan dan
penghormatan pada orang tua tetapi karena dorongan untuk meraih ridha Allah
Azza wa Jalla.
Mereka yang telah
menyemai keyakinan, kebaikan dan kemuliaan, sesungguhnya tetap hidup
kebaikannya. Melalui anak-anak yang kuat karakternya, tinggi harga dirinya,
besar cita-citanya, dan jiwa senantiasa rindu untuk melakukan amal yang terbaik
(ahsanu ‘amala), para orang tua itu sesungguhnya tetap menabung kebaikan meski
berselimut kafan. Sesungguhnya tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari
anak-anak sesudah kita mati kecuali kesalehan. Anak-anak saleh yang
mendoakan orang tuanya merupakan harta berharga yang tak dapat digantikan
oleh doa seribu manusia.
Ya, shalih dulu
baru berdoa. Seribu tangan yang terangkat untuk mengaminkan doa saat kenduri,
tak ada nilainya dibanding bersimpuhnya seorang anak di hadapan Allah Ta’ala
karena amat besarnya keinginan untuk memohonkan ampunan bagi orang tua. Doa
yang diucapkan dengan lantunan indah disertai kalimat yang
bersanjak-sanjak, tetapi ia tidak punya hubungan apa-apa dengan didoakan
kecuali sebagai pendoa suruhan, sungguh tak ada artinya dibanding sebaris
permohonan yang diucapkan oleh anak-anak sendiri.
Saleh itu berkait
dengan hati, berhubungan dengan iman, dan penopangnya adalah ilmu. Ia bisa kita
semai dengan subur pada jiwa yang tenteram. Cerdasnya otak sama sekali tak bisa
menolong apabila jiwa mereka hampa. Kosongnya jiwa membuat nasihat yang kita
berikan hanya akan tersimpan rapi dalam pikiran. Ia tidak memberi pengaruh
terhadap tindakan apalagi pada kehidupan yang lebih luas.
Maka, apakah yang
sudah kita lakukan untuk mengisi ruang jiwa anak kita?
Sungguh, waktu
kita sangat pendek. Anak-anak kita tak selamanya menjadi balita. Mereka akan
tumbuh menjadi kanak-kanak, remaja, dan kemudian dewasa. Hari ini mereka
memerlukan kita. Hari ini mereka amat besar kerinduannya kepada kita. Di antara
mereka mungkin ada yang belum kering air matanya karena berharap bisa bercanda,
tetapi bapak/ibunya sudah bergegas pergi untuk merebut sebuah kata yang bernama
sukses. Mereka berlelah-lelah atas nama anaknya, padahal anaknya sedang
kelelahan karena menunggu kesempatan untuk bermain bersama bapak/ibunya. Mereka
ingin berbincang dan bercanda, meski hanya sebentar. Dua menit saja.
Selagi mereka
belum dewasa atau menginjak usia remaja, inilah saat berharga untuk anak kita.
Inilah saatnya bagi kita untuk mengisi ruang jiwa anak-anak kita. Semoga dengan
itu, mereka kelak akan menjadi generasi yang kuat jiwanya, besar semangatnya,
kokoh imannya, dan tak putus-putus doanya untuk kita.
Sungguh, tak akan
pernah ada waktu menguati jiwa anak-anak kita, kecuali kita sengaja
meluangkannya. Selonggar apapun waktu kita, sama sekali tak ada artinya jika
kita tidak meluangkannya untuk mereka. Begitu pula sebanyak apapun waktu kita
bersama anak, tak ada yang bisa kita kerjakan bersama mereka jika kesempatan
itu datang semata-mata karena kita tidak punya pekerjaan yang harus
diselesaikan. Sebaliknya di saat paling sibuk pun kita akan bisa menyapa mereka
jika kita benar-benar mau melakukannya.
****Sumber :
Majalah Islam – Hadila; Penulis : Ust. Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar