Saya mempunyai keponakan yang masih belum dewasa.
Namanya Naazhim (SMP Kelas 7) dan Izzah (SD Kelas 3). Mereka kakak-adik. Mereka
tinggal di rumah yang jauh dari kami, tetapi masih dalam satu Kabupaten
(Klaten). Jarak antara rumah kami sekitar 20 Km. Karena faktor jarak yang jauh
dan kesibukan bekerja orang tuanya, kami
jarang bertemu. Dalam setahun kami bertemu tidak lebih dari 3 kali.
Awalnya itu masalah bagi saya. Sebagai sebuah keluarga, seolah kami kurang
dekat.
Namun akhirnya saya bisa memahami. Ini adalah hal
yang biasa. Ini adalah realitas yang ada dalam dunia nyata. Ada banyak orang
yang mengalami masalah yang sama. Pertemuan yang sedikit karena suatu keadaan.
Sebuah resiko yang harus manusia terima karena pilihan tempat tinggal, impian
dan pekerjaan. Sehingga ketika kita berharap sesuatu berjalan seperti pada
umumnya. Tetapi dalam kenyataan tidak sesuai harapan. Dalam hal ini pertemuan
yang sedikit dengan keluarga dan kerabat.
Suatu saat Lebaran di tahun 2014, keponakan kami dan
orang tuanya (yang saudara tua saya) berkunjung ke rumah. Saat itu saya dan kedua orang tua saya sangat senang. Saya
bermain ke sana kemari bersama keponakan saya Izzah hingga beberapa jam.
Sedangkan Naazhim seorang yang pendiam, ia lebih suka bermain bola di rumah
atau nonton televisi di rumah depan. Saya meninggalkan Naazhim untuk bermain
sendirian. Saya anggap ia sudah cukup besar untuk mandiri (belajar bermain
sendiri).
Saat saya mulai kelelahan, saya berniat ingin
istirahat sebentar di rumah bagian belakang. Saya meninggalkan mereka di rumah
bagian depan. Tetapi baru sebentar saya tinggalkan, saya mendengar teriakan.
Keponakan saya Naazhim dan Izzah sedang bertengkar. Mereka memperebutkan
minuman manis dalam gelas plastik. Saya tidak tahu merk minuman tersebut,
tetapi yang saya tahu harganya tidak lebih dari Rp 500,-.
Pertengkaran mereka membuat saya kawatir dan sedih.
Demikian juga ibu saya yang kebetulan sedang di rumah. Jika ada orang tuanya
mungkin itu bukan urusan saya. Orang tuanya pasti bisa mengatasi. Tetapi saat
itu orang tuanya baru berkunjung ke tetangga sebelah. Jadi saya dan ibu saya
punya tanggung jawab untuk mengatasi masalah mereka. Sesaat saya merasa bimbang
tentang apa yang yang harus saya lakukan. Jika saya harus memisahkan, siapa
yang harus saya pegang? Jika saya harus menasehati, siapa yang harus saya
nasehati?
Saya tidak boleh memihak, keduanya adalah keponakan
saya yang saya sayangi. Tiba-tiba muncul suatu gagasan di benak saya. Saya
memegang Izzah dan memintanya untuk mengalah dan memberikan minuman itu pada
kakaknya Naazhim. Saat itu saya tidak punya pilihan lain, mengapa saya memilih
Izzah dan bukannya Naazhim. Padahal usia Izzah lebih muda daripada Naazhim. Memang
beberapa tahun terakhir saya merasa sedikit lebih dekat dengan Izzah daripada
Naazhim. Tiap kali bertemu saya dan Izzah lebih sering bermain bersama. Saya
membuat keputusan demikian dengan harapan saya lebih mudah untuk memberikan
nasehat dan penyelesaian atas masalah.
Akhirnya Izzah menuruti permintaan saya. Tetapi
setelah itu Izzah menangis dengan keras. Ia berlari ke rumah belakang dan
bersembunyi. Saya tahu ia sangat kecewa dan sedih. Dan saya merasa lebih sedih
lagi. Sesaat saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya bisa bermain
dengan siapapun anak kecil dengan mudah. Tetapi saya tidak tahu apa yang harus
saya lakukan ketika mereka sedih atau menangis.
Saya belum punya anak atau bahkan istri. Jadi saat
itulah adalah ujian yang berat bagi saya. Saya meminta ibu saya untuk mengatasi
masalah ini. Ibu saya mendekati Izzah dan membujuknya dengan
perkataan-perkataan. Lalu Ibu saya memberikan uang Rp 2000,- sebagai pengganti
minuman. Sejak itu Izzah bisa diam dan ia mulai tersenyum. Saya sangat lega dan
juga senang, akhirnya masalah kami teratasi.
Peristiwa pertengkaran kedua keponakan saya itu terus
mengiang dalam pikiran. Bahkan sampai beberapa hari. Dan itu sebagai pelajaran
bagi saya dalam kehidupan ini. Dalam kehidupan masyarakat, saya sering melihat
pertengkaran ataupun perdebatan. Lalu seseorang marah-marah hanya karena urusan
itu. Yang menjadi aneh adalah sumber masalahnya hanya kecil sekali. Jika
diuangkan kadang nilainya tidak lebih dari seribu rupiah. Dari masalah makanan
di dapur; telor di dadar atau diceplok; makanan dibungkus plastik atau di dalam
wadah piring; warna baju merah atau biru; daun kelapa/pisang yang sedikit
dipangkas; kain lap usang yang dibakar atau masalah bepergian---jalan yang mana
yang harus dilewati, utara atau selatan.
Tetapi masalah ini sering terjadi di dalam
masyarakat; dimanapun dan siapapun. Pertengkaran antara teman di lingkungan
sekolah, pertengkaran antar karyawan di tempat kerja ataupun pertengkaran
antara saudara, anak, suami, istri di dalam rumah. Satu dan lainnya mengganggap
bahwa pendapatnya atau kelompoknya adalah yang paling baik dan paling benar.
Padahal kita tahu bahwa semua yang diperdebatkan itu hanyalah masalah metode, cara,
sarana, jalan atau teknologi untuk mencapai sebuah tujuan.
Memang kadang kita berbeda pendapat, namun tidak
semestinya kita terus bertengkar. Jika kita telah mengetahui esensi kebenaran,
sebenarnya kita tidak perlu ada perdebatan lagi. Dan kita juga tidak perlu
bertengkar lagi. Bukankan kita tahu bahwa apapun pilihan kita akan ada
resikonya. Setiap pilihan ada pahit dan manisnya. Setiap pilihan ada baik dan
buruknya. Setiap pilihan (kebijakan pemerintah) ada keuntungan dan kerugiannya.
Ada banyak cerita keburukan yang diawali kebaikan.
Ada banyak cerita baik yang diawali dengan keburukan. Ada banyak cerita orang
kaya yang diawali dari seorang yang miskin. Ada banyak juga cerita orang miskin
yang diawali dari seorang yang kaya. Jadi masalah selanjutnya adalah : Siapa yang melakukan? Siapa yang
menggunakan? Siapa yang punya kuasa? Siapa yang diberi kesempatan? Siapa yang
membuat keputusan? Siapa pihak yang diuntungkan? Siapa pihak yang dirugikan? Jika
kita sudah mengetahui tentang kebenaran, seharusnya tidak ada pertengkaran lagi
di masa yang akan datang.
Apalagi untuk masalah yang kecil. Apakah tidak
terbesit dalam diri kita? Apakah kita tidak rela? Jika kita sedikit mengalah
untuk orang-orang yang kita sayangi ataupun orang-orang yang kita hormati.
Mengalah untuk kebaikan bersama; untuk anak, istri, suami, saudara, teman atau
tetangga kita. Dan tidak ada lagi kemarahan kepada orang-orang di dekat kita.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Orang
yang kuat bukanlah yang kuat bergulat, namun yang mampu menahan diri ketika marah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
****(Ditulis: 25
Desember 2014; Sri Widodo, ST)
ARTIKEL LAIN:
IBUKU-CERITA DARI DESA
IBUKU BERHARAP BERAS ITU MAHAL
IBU-JANGAN MARAH LAGI
PAK-JANGAN MENGELUH LAGI
UMROH-BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
KISAH CINTA ALI DAN FATIMAH
WAHAI FATIMAH
KELUARGA NABI ISMAIL AS
ARTIKEL LAIN:
IBUKU-CERITA DARI DESA
IBUKU BERHARAP BERAS ITU MAHAL
IBU-JANGAN MARAH LAGI
PAK-JANGAN MENGELUH LAGI
UMROH-BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
KISAH CINTA ALI DAN FATIMAH
WAHAI FATIMAH
KELUARGA NABI ISMAIL AS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar