Minggu, 03 April 2016

IBUKU-BERHARAP BERAS ITU MAHAL







Orang tua saya adalah seorang petani di desa. Suatu saat ibu saya mengeluh tentang mahalnya harga pupuk pada masa tanam.  Sekarang sulit untuk mendapatkan pupuk di pasaran. Namun jika masa panen tiba,  harga padi di pasaran terlalu murah. Lain dengan masa dahulu, pupuk mudah didapatkan dan harganya juga lebih murah. Dahulu, harga pada lebih stabil. Ibu saya menyalahkan pemerintah yang tidak bisa  mengendalikan ketersediaaan dan kestabilan harga pupuk. Saya juga tahu bahwa pemerintah  kesulitan untuk menjaga kestabilan harga beras. Ibu saya berharap bahwa harga padi atau beras itu mahal, agar kami para petani untungnya banyak.

Ibu saya mengatakan, “Menjadi petani sekarang susah, tidak ada untungnya.” Saya tahu bahwa hampir semua petani juga mengatakan hal yang demikian. Mereka para petani merasa rugi, dan sulit mendapatkan keuntungan. Ibu saya mengeluhkan tentang hal ini berkali-kali. Saat itu saya hanya diam. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.

Suatu hari ibu saya mengeluh lagi tentang hal yang sama. Lalu saya terinspirasi untuk mengatakan, “Ibu, saya juga berharap bahwa pupuk itu mudah didapatkan. Saya juga berharap harga pupuk itu murah. Saya berharap harga padi itu setinggi mungkin. Dengan begitu kita para petani bisa mendapatkan banyak keuntungan.
Tetapi coba ibu pikirkan lagi. Sekarang manusia semakin bertambah banyak. Masing-masing orang ingin mendapatkan banyak keuntungan (uang). Karena itu ada sebagian dari kita yang berbuat curang. Meski pemerintah sudah berupaya untuk menjamin tersedianya harga pupuk murah, tetapi orang-orang tertentu berniat sebaliknya. Mereka berharap harga pupuk itu tinggi, dengan demikian mereka mendapat untung besar.”

Saya masih menambahkan, “Ibu, anak-anak dan cucu-cucumu sekarang tinggal di kota. Mereka tidak punya sawah untuk menanam padi. Tetapi mereka setiap hari membutuhkan beras untuk dimakan. Jika harga beras itu mahal, mereka pasti sedih. Mereka selalu berharap bahwa harga beras itu murah. Dengan begitu mereka lebih banyak menghemat uang tiap hari. Sisa uangnya bisa digunakan untuk kebutuhan yang lain. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi anak-anak dan cucu-cucumu tiap hari. Apalagi ibu sekarang kan sudah tua dan pasti sudah penuh dengan pengalaman hidup. Ibu juga bukan seorang yang kekurangan. Apa yang bapak miliki saat ini sudah cukup untuk menyambung hidup kalian. Sudah saatnya bagi ibu untuk mengurangi keinginan (kesenangan) keduniaan, tetapi lebih banyak ibadah untuk akherat. Apalagi kebutuhan ibu juga tidak banyak. Ibu lebih suka tinggal di rumah dan mengurus pekerjaan rumah tiap hari. Ibu lebih suka mendengar berita RRI dan melihat berita TVRI sebagai hiburan daripada ngrumpi sama tetangga. Ibu tidak suka baju baru atau memakai perhiasan. Ibu lebih suka memakai baju bekas anak-anakmu sendiri. Ibu  juga tidak suka jalan-jalan untuk wisata ke kota. Ibu tidak lagi butuh kesenangan lain seperti anak muda jaman sekarang.”

Setelah penjelasan saya tadi ibu saya mengerti. Sekarang ia tidak banyak mengeluh lagi jika sulit mendapatkan pupuk atau ketika harga pupuk mahal. Ibu juga tidak banyak mengeluh jika harga beras murah. Ibu saya juga tidak menyalahkan pemerintah lagi. Sebenarnya masalah negara ini terlalu besar dan terlalu rumit. Pemerintah sangat sulit untuk membuat keputusan yang benar dan menguntungkan banyak orang.

Demikan juga bagi saya. Saya merasa tidak mampu dalam memikirkan masalah ini. Masalah ini terlalu besar bagi saya untuk dicarikan solusi terbaiknya. Seperti yang baru saja saya katakan pada Pak Subur selepas shalat Dhuhur tadi: “Mungkin yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan. Kita masih beruntung, negara kita tidak dilanda peperangan seperti di Suriah-Timur Tengah atau konflik di Rohingya-Myanmar. Jika hal itu terjadi, lalu kita akan mengungsi kemana....?”

Penulis: Sri Widodo ST; Rumah di Jl. Sawo 4, Rawa Mangun, Jakarta Timur; Minggu, 3 Maret 2016;


Tidak ada komentar:

Posting Komentar