Jumat, 13 September 2013

MANAJEMEN KONFLIK KELUARGA

Jangan percaya kalau ada pasangan suami istri mengaku tidak pernah mengalami konflik dalam pernikahan. Meski tidak ada yang menghendaki, konflik dalam rumah tangga adalah sebuah kepercayaan, baik kecil ataupun besar. Tetapi bila dikelola dengan baik, konflik bisa membuat pernikahan semakin berkualitas, berkembang dan maju.

Memang Beda

Sejak awal pernikahan, kita sudah menyadari adanya perbedaan dua kepribadian yang sudah ‘jadi’. Meski mungkin berasal dari komunitas pengajian yang sama, yang mungkin memiliki visi, misi dan tujuan pernikahan sama, toh masing-masing dari kita memiliki latar belakang, keinginan dan sikap berbeda. Sementara begitu menjadi pasangan suami istri, persoallan-persoaan inilah yang paling sering mengalami persinggungan. Sehingga hal-hal  yang nampak sepele sekalipun, sangat mungkin memicu munculnya konflik.

Perbedaan latar belakang ini jika sekal awal disadari akan sangat membantu bila konflik betul-betul datang mendera. Kesadaran bahwa memang ada hal-hal yang harus dipertemukan, disepakati dan dipahami bersama dalam pernikahan, akan melahirkan kedewasaan. Di samping menyediakan lapangan amal shalih yang relatif luas, konflik juga akan mengajari kita untuk banyak mengalah, berkorban, toleran dan tidak menuntut, sekaligus membuat kita lebih mengenal pasangan. “Oh ternyata dia begitu to?” kemudian segera mencari solusi terbaik.

Meski munculnya konflik bisa berpotensi positif bagi kedua belah pihak, konflik juga berpotensi negatif jika tidak hati-hati mengelolanya. Mulai dari sumber ketidakharmonisan pernikahan, sampai yang paling serius, ancaman perceraian! Tantu saja tak ada yang menginginkan pernikahannya kandas di tengah jalan, apalagi hancur berantakan. Jika telah ada buat hati, hal ini tentu saja sangat menyakitkan. Tidak sedikit yang kemudian mengalami trauma berkepanjangan.

Pelaut Tangguh 

Ibarat mengarungi samudera, bahtera bernama rumah tangga akan banyak dihantam badai. Hanya pelaut tangguh yang bisa mengendalikan laju bahteranya agar tetap berlabuh sampai di tujuan. Untuk itu dia harus mengenali arah mata angin, jenis angin yang sedang bertiup, sampai ilmu bagaimana menghadapi terpaan gelombang dan hantaman badai.

Banyak hal yang bisa memicu konflik. Soal selera makanan, warna pakaian dan gaya hidup, pembagian waktu di dalam dan di luar rumah, pola pengasuhan anak, atau rahasia kamar tidur. Pendeknya semua hal yang bisa saja menjadi sumber konflik dalam pernikahan. Belum lagi sejumlah tekanan yang mungkin dialami pasangan suami-istri; seperti kondisi keuangan yang sulit, kerabat yang ikut campur, tuntutan pasangan yang berlebihan, dan fitnah rumah tangga.

Meski persoalan-persoalan tersebut kekanak-kanakan, faktanya banyak pasangan yang bercerai karena masalah-masalah yang benar-benar sepele. Ada lho pasangan yang bercerai hanya karena masalah kentut dan kebiasaan suami mendengkur.

Sumber Konflik

Kita perlu mengenali sumber-sumber konflik dan mengapa hal itu sampai menimbulkan perselisihan di antara kita. Yang pertama adalah hal-hal yang sangat biasa seperti selera makan, cara menghidangkan makanan dan makan, warna pakaian pasangan, model perabot rumah, atau hal-hal sejenis yang sebenarnya remeh. Biasanya, pasangan yang belum matang secara psikis akan menemui konflik karena hal-hal semacam ini. Mereka berpikir dangkal. Sebab orientasi hidup mereka pun dangkal dan sangat ‘hari ini’. Padahal pasti masing-masing pasangan memiliki banyak kelebihan pada hal-hal yang lebih besar dan prinsipil. Juga lebih berjangka panjang.
Ada juga konflik yang bersumber dari perilaku pasangan kita, seperti kebiasaan buruk pasangan yang mudah marah, berbicara jorok, keras kepala dan mau menang sendiri. Juga pasangan yang suka berbohong, gila hobi, terlalu dominan atau gila kerja. Hal-hal seperti ini biasanya berasal dari salah asuhan, yang tentunya tidak gampang merubahnya.

Kedua, sumber konflik yang lain bisa berasal dari hubungan dengan mertua, ipar atau orang tua sendiri pasca pernikahan. Orang tua atau mertua yang membanding-bandingkan kita dengan anak atau menantu yang lain, terlalu ikut campur urusan rumah tangga kita, sampai mertua atau orang tua kita meminta jatah bulanan dan penghasilan kita. Belum lagi persaingan antar saudara ipar dalam merebut perhatian pasangan, orang tua atau mertua, juga persaingan dalam perolehan materi. Apalagi jika banyak di antara saudara ipar yang tidak sejalan dalam pemahaman agamanya.

Ketiga, konflik yang bersumber dari konskuensi keimanan yang kita pilih. Hidup di lingkungan penuh dengan maksiyat, sementara  kita tidak ingin dicap sebagai warga yang eklusif tentu melahirkan sejumlah masalah. Keadaan ekonomi yang tidak kunjung membaik, sedangkan penghayatan iman kita yang fluktuatif (naik turun) tentu menjadi masalah. Meski yang membaikpun bukan berarti sepi dari masalah. 

Kecewa

Konflik-konflik yang muncul dalam pernikahan sering melahirkan kekecewaan di hati kita. Banyak yang kemudian tergesa-gesa menghukum bahwa dia telah salah pilih. Meski tentu saja tidak selalu benar. Untuk itu, sangat dianjuran untuk mencari pasangan yang se’level’ atau se-kufu dalam banyak hal, agar membantu proses adaptasi, saling memahami dan menerima antar pasangan. Agar pula bisa meminimalisir kemungkinan munculnya jurang perbedaan yang terlalu besar. Meski bagi sebagian orang se-kufuan lebih dititikberatkan pada pemahaman agama dan pengamalannya.

Kekecewaan yang muncul kadang disembunyikan, dan tidak dinyatakan secara terbuka. Kita tidak mendialogkan, membicarakan ataupun mengungkapkannya dalam bentuk kemarahan. Hanya melakukan ‘perang’ hati. Banyak yang berharap agar hal itu diselesaikan dengan sendirinya sejalan dengan berjalannya waktu. Ini tentu saja tidak sehat dan tidak memecahkan masalah yang sebenarnya. Tidak mustahil, hal ini ibarat bom waktu yang hanya menunggu saat untuk meledak, ketika kekecewaan tidak bisa lagi ditolerir.

Ada pula yang melakukan perang terbuka, sebab kekecewaan yang dia rasakan diungkapkan dalam bentuk kemarahan. Melontarkan kata-kata pedas secara frontal karena tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia tidak bisa menerima apa yang dia lihat dan rasakan. Inilah pertengkaran, yang jika tidak segera dicari pemecahannya, tentu akan menyulut kemarahan dan kekecewaan yang semakin besar.

Hanya saja, apapun alasannya, sebaiknya tidak melakukan pertengkaran terbuka di depan anak-anak. Sebab anak-anak balita seringkali berpikir bahwa merekalah penyebab pertengkaran orang tua. Anak akan merasa bersalah dan gelisah. Pada bayi, perasaan itu kadang diungkapkan dengan rewel.

Sedang bagi anak-anak yang lebih besar, pertengkaran kedua orang tua sering memunculkan perasaan takut jika orang tua mereka bercerai. Sementara mereka tidak siap untuk memilih ikut siapa. Mereka bahkan takut membayangkan kemungkinan bagaimana keadaan mereka setelah perceraian itu.

Solusi
Banyak solusi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik pernikahan. Mencoba untuk lebih bersabar menerima keadaan, berani menghadapi dan memilih jalan terbaik. Bisa dengan melakukah muhasabah, mengingat kebaikan-kebaikannya, merenungi komitmen pernikahan, atau memikirkan psiokologi anak.
Yang kedua adalah berani melakukan dialog, sebab banyak konflik  yang muncul karena tidak adanya dialog yang sehat. Masing-masing merasa benar dengan persepsinya sendiri-sendiri. Bisa saja obrolan ringan dan dari hati ke hati, mencairkan kebekuan dan memperjelas pemahaman tentang pasangan.
Terakhir jika kedua hal di atas gagal kita lakukan adalah dengan mencari pihak ketiga sebagai penengah. Tentu saja pihak yang netral dan tidak memihak agar tidak malah semakin mengeruhkan suasana. Allah berfirman dalam surat An Nisaa ayat 35, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.


Sumber : Majalah  ar-risalah No 34/April 2004 halaman 48-50




Tidak ada komentar:

Posting Komentar